1.
Pendekatan
mimetik
Mimetik yang semula dikenal dengan nama mimeis merupakan salah satu
wacana yang ditinggalkan Plato dan Aristoteles sejak masa keemasan filsafat
kuno, hingga pada akhirnya abrams memasukkannya menjadi salahsatu pendekatan
utama menganalisis sastra selain pendekatan paragmatik, ekspresif dan
pendekatan objektif. Mimeis merupakan ibu dari pendekatan sosiologi sastra yang darinya
dilahirkan metode kritik sastra yang lain. Mimeis berasal dari bahasa yunani
yang berarti tiruan. Dalam hubungannya dengan kritik sastra mimeis diartikan
sebagai pendekatan sebuah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra selalu
berupaya mengaitkan karya sastra dengan realitas atau kenyataan. Perbedaan
pandangan Plato dan Aristoteles menjadi sangat menarik karena keduanya
merupakan awal filsafat alam, merekalah yang menghubungkan persoalan filsafat
dengan kehidupan.
a.
Pandangan Plato
mengenai mimeis
Pandangan Plato mengenai mimeis sangat
dipengaruhi oleh pandangannya mengenai konsep-konsep ide-ide ynag kemudian
mempengaruhi bagaimana pandangannya mengenai seni. Plato mengangap ide yang
dimiliki manusia terhadap suatu hal merupakan suatu yang sempurna dan tidak dapat
berubah. Ide merupakan dunia ide yang terdapat pada manusia. Ide oleh manusia
hanya dapat diketahui melalui rasio, tidak mungkin untuk dilihat dengan panca
indra. Bagi Plato adalah hal yang tetap atau tidak dapat dirubah (bertnens
1979;13).
Berdasarkan
pandangan plato mengenai konsep ide tersebut, Plato sangat memanadang rendah
seniman dan penyair dalam bukunya yang berjudul republic bagian kesepuluh. Bahkan ia mengusir seniman dan sastrawan
dari negerinya, Karena mengangap seniman dan sastrawan tidak berguna bagi Athena,
mereka dianggap hanya akan meninggikan nafsu dan emosi saja. Pandangan tersebut
muncul karena mimeis yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan hanya akan
menghasilkan khayalan tentang kenyatan dan tetap jauh dari kebenaran. Bagi Plato seorang tukank yang membuat meja atau
kursi lebih mulia dari pada seorang seniman atau satrawan karena mereka dapat mengahdirkan ide kedalam
bentuk yang dapat disentuh oleh panca indera. Sedangkan penyair dan seniman
hanya menjiplak kenyataan dapat disentuh oleh panca indera, mereka oleh Plato
hanya dianggap menjiplak dari jiplakan (luxemberg;16). Menurut Plato pendekatn mimeis
hanya terikat pada ide pendekatan. Tidak pernah mengahsilakan kopi sungguhan,
mimeis hanya mampu menyarnakan tataran yang lebih tinggi. Mimeis yang dilakukan
oleh seniman dan sastrawan tidak mungkin mengacu secara langsung terhadap idea
(Teew 1988:220). seni hanya menimbulkan nafsu karena cendrung menghimbau emosi,
bukan rasio ( Teew 1884:221)
Internet |
b.
Pandangan Aristoteles
mengenai mimeis
Aristoteles adalah seorang peolopor penentang
pandangan Plato tentang mimeis,yang berarti juga menentang pandanagn rendah Plato
terhadap seni. Aristoteles justru menganggap seni sebagai sesuatu yang bisa
meninggikan akal budi Teew (1984;221) mengatakn bila aristoteles memandang seni
sebagai katharis, penyucian terhadap jiwa. Oleh Aristoteles dianggap
menimbulkan kekawatiran dan rasa khas kasihan yang dapat membebaskan dari nafsu
rendah penikmatnya. Dalam bukunya poetic 1989,
Aristoteles mengemukakan bahwa sastra bukan copy, melainkan suatu ungkapan mengenai
“universalia” (konsep-konsep umum). Dari
kenyataan yang menampakkan diri kacau balau seorang seniman atau satrawan
memilih beberapa unsur untuk kemudian diciptakan kembali menjadi kodrat manusia
yang abadi, kebenaran universal.
c.
Pandangan mimeis
setelah Plato dan Aristoteles
Mimeis yang menjadi pandangan Plato dan Aristoteles
saat ini telah ditansformasikan kedalam bebagai bentuk teori estetika (keindahan)
dengan berbagai pengembangan didalamnya. (Luxemberg, 1989;18) mimeis tidak
lagi diartikan suatu pencerminan tentang kenyataan indrawi, tetapi
merupakan pencerminan langsung terhadap idea. Dari pandangn ini dapat
diasumsikan bahwa susunan kata dalam teks sastra tidak mengcopy secara dangkal
dari kenyataan indrawi ynag diterima penyair, tetapi mencerminkan kenyatan
hakiki yang lebih luhur melalui pencerminan tersebut kenyataan indrawi dapat
disentuh dengan dimensi lain yang lebih luhur. Konsep mimeis zaman reanaissane
tersebut kemudian tergeser pada zaman romantic. Aliran romantic menurut
luxemberg (1989;18) justru memperhatikan kembali ynag aneh-aneh, tidak rill dan
tidak masuk akal. kaum romantic lebih memperhatikan sesuatu dibalik mimeis ,
misalnya persoalan plot dalam drama . plot atau alur drama bukan suatu urutan
peristiwa saja, melainkan juga dipandang sebagai kesatuan organik dan karena itulah
drama memaparkan suatu pengertian mengenai perbuatan-perbuatan manusia.
Menurut abrams, kritikus pada jenis ini memandang
karya sastra sebagai tiruan aspek-aspek alam. Sastra merupakan pencerminan atau
penggambaran dunia kehidupan. Sehingga kriteria yang digunakan kritikus sejauh
mana karya sastra mampu menggambarkan obyek yang sebenarnya. Semakin jelas
karya sastra menggambarkan realita semakin baguslah karya sastra itu. Kritik
ini jelas dipengaruhi oleh paham plato dan aristoteles yang menyatakan bahwa
sastra adalah tiruan kenyataan. Di indonesia, kritik jenis ini banyak digunakan
pada angkatan 45. Contoh lain misalnya:
-
Novel indonesia
mutakhir: sebuah kritik, Jakob Sumardjo
-
Fiksi indonesia
dewasa ini, Jakob Sumardjo
-
Novel indonesia
sebelum perang, Sapardi Djoko Damono.
2.
Kritik pargmatik
Kritikus jenis ini memandang karya sastra terutama sebagai
alat untuk mencapai tujuan (mendaptkan sesuatu yang diharapkan). Sementara
tujuan karya sastra pada umumnya: edukatif, estetis, atau politis. Dengan kata
lain, kritik ini cendrung menilai karya sastra atas keberhasilannya mencapai
tujuan. Ada yang berpendapat, bahwa krtik jenis ini lebih bergantung pada
pembacanya (reseptif). Kritkik jenis ini berkembang pada angkaatn balai
pustaka. STA pernah menulis kritk jenis ini yang dibukukan dengan judul
perjuangan dan tanggung jawab dalam kesusastraan
3.
Kritik ekspresif
Kritik ekpresif menitikberatkan pada pengarang.
Kritikus ekspresif meyakini bahawa sastrawan (pengarang) merupakan unsur pokok
yang melahirkan pikiran-pikiran, presepsi-presepsi dan perasaan ynag
dikombinasikan dalam karya sastra. Kritikus cendrung menimba karya sastra
beradasrkan kemulusan, kesejatian, kecocokan, pengelihatan mata batin
pengarang/keadaan pikirannya.
Pendekatan ini sering mencari fakta tentang watak
khusus dan penglaman-pengalamn sastrawan yang sadar/tidak, telah membuka
dirinya dalam karyanya. Umumnya, sastrawan romantik jaman Bp/Pb menggunakan
orientasi ekspretif ini dalam teori kritkannya. Di indonesia, contoh kritk
sastra ini antara lain:
-
Chairil anwar:
sebuah pertemuan, Karya Arif Budiman
-
dibalik sejumlah
nama, Linus Suryadi
-
sosok pribadi
dalam sajak, Subagio Sastri Wardoyo
-
Ws rendra dan
imajenasinya, Anton J. Lake.
-
cerita pendek indonesia:
sebuah pembicaraan, Korrie Layun Rampan.
4.
Kritik objektif
Kritikus jenis
ini memandang karya sastra sebagai sesuatu yang mandiri. Bebas terhadap
sekitarnya , bebas dari penyair, pembaca, dan dunia sekitarnya. Karya sastra
merupakan sebuah keseluruhan yang mencakupi didirnya, tersusun dari
bagian-bagian yang saling berjalinan erat secara batiniah dan menghendaki pertimbangan
dan analitis denagn kriteria-kriteria intrinstik berdasarkan keberadaan (kompleksitas,
koherensi, keseimbangan, integretas, dan saling berhubungan antar unsur-unsur
pembentuknya).
Jadi, unsur
intrinstik (oobjektif) tidak hanya terbatas pada alur, tema, tokoh ,dsb tetapiu
juga mencakup kompleksitas, koherensi, kesinamabungan, integritas, dsb.
Pendekatan krirtik
sastra ini menitik beratkan pada karya-karya itu sendiri.
Kritik jenis ini mulai berkembang sejak tahun 20-an
dan melahirkan teori-teori:
-
new criticus di
as
-
Kritikus
formalis di eropa
-
Para
strukturalis perancis
Di indonesia, kritik jenis ini dikembangkan oleh
kelompok aliran rawamanung.
Contoh
kritik sastra ini antara lain:
-
Bentuk lakon
dalam sastra indonesia, Boen S. Oemaryati.
-
Novel baru iwan
simatupang, Dami N. Toda
-
Pengarang wanita
indonesia, Th. Rahayu Prihatmi
-
Tergantung pada
kata , Teeuw
-
dll