Prinsip Kerja Sama Grice (Pragmatik)


Prinsip Kerja Sama Grice ada empat yaitu:
1.      Maksim Kuantitas (The Maxim of Quantity)
Berikan jumlah informasi yang tepat, yaitu :
-          Sumbangan informasi Anda harus seinformatif yang dibutuhkan.
-          Sumbangan informasi Anda jangan melebihi yang dibutuhkan
(Fhoto : Google Search)
Di dalam maksim kuantitas, seorang penutur diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup, relative memadai, dan seinformatif mungkin. Informasi demikian itu tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya dibutuhkan si mitra tutur. Tuturan yang mengandung informasi yang sungguh-sungguh diperlukan mitra tutur, dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas dalam Prinsip Kerja Sama Grice. Demikian sebaliknya, apabila tuturan itu mengandung informasi yang berlebihan akan dapat dikatakan melanggar  maksim kuantitas. Tuturan (1), (2), (3), dan tuturan (4) berikut dapat dipertimbangkan lebh lanjut untuk memperjelas pernyataan ini.

(1)   “ Biarlah kedua pemuas nafsu itu habis berkasih-kasihan!”.
(2)   “ Biarlah kedua pemuas nafsu yang sedang sama-sama mabuk cinta dan penuh nafsu birahi itu habis berkasih-kasihan!”

Informasi indeksal:
Tuturan 1 dan 2 dituturkan oleh seorang pengelolah rumah kos mahasiswa kepada anaknya yang sedang merasa jengkel karena perilaku para penghuni kos yang tidak wajar dan bahkan melanggar aturan yang ada.

(3)   “Lihat itu Muhammad Ali mau bertanding lagi!”
(4)   “Lihat itu Muhammad Ali yang mantan petinju kelas berat itu mau bertanding lagi!”



Informasi indeksal:
Tuturan 3 dan 4 dituturkan oleh seorang pengagum Muhammad Ali kepada rekannya yang juga mengagumi petinju legendaris itu. Tuturan itu dimunculkan pada waktu mereka bersama-sama melihat salah satu acara tinju di televisi.
Tuturan (1) dan (3) dalam contoh di atas merupakan tuturan yang sudah jelas dan sangat informative isinya. Dapat dikatakan demikian, karena tanpa harus ditambah dengan informasi lain, tuturan itu sudah dapat dipahami maksudnya dengan baik dan jelas oleh si mitra tutur. Penambahan informasi seperti ditunjukkan pada tuturan (2) dan tuturan (4) justru akan menyebabkan tuturan menjadi berlebihan dan terlalu panjang. Sesuai dengan yang digariskan maksim ini, tuturan seperti pada (2) dan (4) di atas tidak mendukung atau bahkan melanggar Prinsip Kerja Sama Grice.
Pernyataan yang demikian dalam banyak hal, kadang-kadang tidak dapat dibenarkan. Dalam masyarakat dan budaya Indonesia, khususnya di dalam kultur masyarakat Jawa, justru ada indikasi bahwa semakin panjang sebuah tuturan akan semakin sopanlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin pendek sebuah tuturan, akan semakin tidak sopanlah tuturan itu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa untuk menunjukkan maksud kesantunan tuturan dalam bahasa Indonesia, dalam hal tertentu penutur harus melanggar dan tidak menepati Prinsip Kerja Sama Grice. Tuturan (5), (6), dan tuturan (7) berikut secara berturut-turut menunjukkan perbedaan tingkat  kesantunan tuturan sebagai akibat  dari perbedaan panjang-pendeknya tuturan.

(5)   “Bawalah Koran itu ke tempat lain!”
(6)   “Tolong bawalah Koran itu ke tempat lain!”
(7)   “Silahkan Koran itu dibawa ke tempat lain dahulu!”

Informasi indeksal:
Tuturan 5, 6, dan 7, dituturkan oleh seorang Direktur kepada sekretarisnya di dalam ruangan yang kebetulan mejanya berserakan dengan Koran-koran bekas di atasnya.


2.      Maksim Kualitas (The Maxim of Quality)
Usahakan agar sumbangan informasi Anda benar, yaitu :
-          Jangan mengatakan suatu yang Anda yakini bahwa itu tidak benar.
-          Jangan mengatakan suatu yang bukti kebenarannya kurang meyakinkan.
Dengan maksim kualitas, seorang peserta tutur diharapkan dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta sebenarnya di dalam bertutur. Fakta itu harus didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas. Tuturan (8) dan tuturan (9) pada bagian berikut dapat dipertimbangkan untuk memperjelas pernyataan ini.

(8)   “ Silakan menyontek saja biar nanti saya mudah menilainya!”
(9)   “Jangan menyontek, nilainya bias E nanti!”

Informasi indeksal:
Tuturan 8 dan 9 dituturkan oleh dosen kepada mahasiswanya di dalam ruang ujian pada saat dia melihat ada seorang mahasiswa yang sedang berusaha melakukan penyontekan.
Tuturan (9) jelas lebih memungkinkan terjadinya kerja sama antara penutur dengan mitra tutur. Tuturan (8) dikatakan melanggar maksim kualitas karena penutur mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai dengan seharusnya dilakukan seseorang. Akan merupakan sesuatu kejanggalan apabila di dalam dunia pendidikan terdapat seorang dosen yang mempersilakan para mahasiswanya melakukan penyontekan pada saat ujian berlangsung.
Dalam komunikasi sebenarnya, penutur dan mitra tutur sangat lazim menggunakan tuturan dengan maksud yang tidak senyatanya dan tidak disertai dengan bukti-bukti yang jelas. Bertutur yang terlalu langsung dan tanpa basa-basi dengan disertai bukti-bukti yang jelas dan apa adanya justru akan membuat tuturan menjadi kasar dan tidak sopan. Dengan perkataan lain, untuk bertutur yang santun maksim kualitas ini seringkali tidak dipatuhi dan tidak dipenuhi. Tuturan (10), (11), dan (12) berikut secara berturut-turut berbeda dalam peringkat kesantunannya dan dapat dipertimbangkan untuk memperjelas pernyataan di atas.

(10)           “Pak, minta uangnya untuk besok!”
(11)            “Bapak, besok beli bukunya bagaimana?”
(12)           “Bapak, besok aku jadi ke Gramedia, bukan?”

Informasi indeksal:
Tuturan 10, 11, dan 12 dituturkan oleh seorang anak yang sedang minta uang kepada Bapaknya. Tuturan-tuturan tersebut dituturkan dalam konteks situasi tutur yang berbeda-beda.

3.      Maksim Relevansi (The Maxim of Relevance)
Usahakan agar perkataan Anda ada relevansinya.
Di dalam maksim relevansi, dinyatakan bahwa agar terjalin kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan itu. Bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak mematuhi dan melanggar prinsip kerja sama. Sebagai ilustrasi atas pernyataan itu perlu dicermati tuturan (13) berikut.

(13)           Sang Hyang Tunggal : “Namun sebelum kau pergi, letakkanlah kata-kataku ini   dalam hati!”
Semar                : “Hamba bersedia, ya Dewa.”

Informasi indeksal:
Tuturan ini dituturkan oleh Sang Hyang Tunggal kepada tokoh Semar dalam sebuah adegan pewayangan.
Cuplikan pertuturan pada (13) di atas dapat dikatakan mematuhi dan menepati maksim relevansi. Dikatakan demikian, karena apabila dicermati lebih mendalam, tuturan yang disampaikan tokoh Semar, yakni “ Hamba bersedia, ya Dewa,” benar-benar merupakan tanggapan atas perintah Sang Hyang Tunggal yang dituturkan sebelumnya, yakni “ Namun, sebelum kau pergi, letakkanlah kata-kataku ini dalam hati.” Dengan perkataan lain, tuturan itu patuh dengan maksim relevansi dalam Prinsip Kerja Sama Grice. Untuk maksud-maksud tertentu, misalnya untuk menunjukkan kesantunan tuturan, Ketentuan yang ada pada maksim itu seringkali tidak dipenuhi oleh penutur. Berkenaan dengan hal ini, tuturan (14) antara seorang direktur dengan sekretarisnya pada contoh berikut dapat dipertimbangkan.

(14)           Direktu            : “Bawa sini semua berkasnya akan saya tanda tangani dulu!”
Sekretaris        : “Maaf Bu, kasihan sekali nenek tua itu.”

Informasi indeksal:
Dituturkan oleh seorang Direktur kepada sekretarisnya pada saat mereka bersama-sama bekerja di sebuah ruang kerja Direktur. Pada saat itu,ada seorang nenek tua yang sudah menunggu lama.
Di dalam cuplikan percakapan di atas, tampak dengan jelas bahwa tuturan sang sekretaris, yakni “maaf Bu, kasihan sekali nenek tua itu” tidak memiliki relevansi dengan apa yang diperintahkan sang Direktur, yakni “Bawa sini semua berkasnya akan saya tanda tangani!” Dengan demikian tuturan (14) di atas dapat dipakai sebagai salah satu bukti bahwa maksim relevansi dalam prinsip kerja sama tidak selalu dipenuhi dan dipatuhi dalam pertuturan sesungguhnya. Hal seperti itu dapat dilakukan, khususnya, apabila tuturan tersebut dimaksudkan untuk mengungkapkan maksud-maksud tertentu yang khusus sifatnya.

4.      Maksim Pelaksanaan (The Maxim of Manner)
Usahakan agar mudah dimengerti, yaitu :
-          Hindarilah pernyataan-pernyataan yang samar.
-          Hindarilah ketaksaan.
-          Usahakan agar ringkas (hindarilah pernyataan-pernyataan yang panjang lebar dan bertele-tele ).
-          Usahakan agar Anda berbicara dengan teratur.
Maksim pelaksanaan ini mengharuskan peserta pertuturan bertutur secara langsung, jelas dan tidak kabur. Orang bertutur dengan tidak mempertimbangkan hal-hal itu dapat dikatakan melanggar Prinsip Kerja Sama Grice karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan. Berkenaan dengan itu, tuturan (15) pada contoh berikut dapat digunakan sebagai ilustrasi.

(15)     (+) “Ayo, cepat dibuka!”
            (-) “Sebentar dulu, masih dingin.”

Informasi indeksal:
Dituturkan oleh seorang kakak kepada adik perempuannya. Cuplikan tuturan (15) di atas memiliki kadar kejelasan yang rendah. Karena berkadar kejelasan rendah dengan sendirinya kadar kekaburannya menjadi sangat tinggi. Tuturan si penutur (+) yang berbunyi “Ayo, cepat dibuka!” sama sekali tidak memberikan kejelasan tentang apa yang sebenarnya diminta oleh si mitra tutur. Kata dibuka dalam tuturan di atas mengandung kadar ketaksaan dan kekaburan sangat tinggi. Oleh karenanya, maknanya pun menjadi sangat kabur. Dapat dikatakan demikian, karena kata itu dimungkinkan untuk ditafsirkan bermacam-macam. Demikian pula tuturan yang disampaikan si mitra tutur (-), yakni “sebentar dulu, masih dingin” mengandung kadar ketaksaan cukup tinggi. Kata dingin pada tuturan itu dapat mendatangkan banyak kemungkinan persepsi penafsiran Karena di dalam tuturan itu tidak jelas apa sebenarnya yang masih dingin itu. Tuturan-tuturan demikian itu dapat dikatakan melanggar prinsip kerja sama karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan dalam Prinsip Kerja Sama Grice.
Dalam kegiatan bertutur yang sesungguhnya pada masyarakat bahasa Indonesia, ketidakjelasan, kekaburan, dan ketidaklangsungan merupakan hal yang wajar dan sangat lazim terjadi. Sebagai contoh, di dalam masyarakat tutur dan kebudayaan Jawa, ciri-ciri bertutur demikian hampir selalu dapat ditemukan dalam percakapan keseharian pada masyarakat tutur ini, justru ketidaklangsungan merupakan salah satu ceritra kesantunan seseorang dalam bertutur. Tuturan (16) dapat digunakan sebagai ilustrasi untuk memperjelas hal ini.

(15)           Anak: “Bu, besok saya akan pulang lagi ke kota.”
Ibu:  “Itu sudah saya siapkan di laci meja.”

Informasi indeksal:
Dituturkan oleh seorang anak desa yang masih mahasiswa kepada Ibunya pada saat meminta uang saku untuk hidup di sebuah rumah kos di kota. Tuturan itu terjadi pada waktu mereka  berdua berada di dapur sedang memasak bersama.
Dari cuplikan di atas, tampak bahwa tuturan yang dituturkan sang anak, yakni yang berbunyi “Bu, besok saya akan pulang lagi ke kota.” Relatif kabur maksudnya. Maksud yang sebenarnya dari tuturan si anak itu, bukannya terutama ingin memberi tahu kepada sang Ibu bahwa ia akan segera kembali ke kota, melainkan lebih dari itu , yakni bahwa ia sebenarnya ingin menanyakan apakah sang ibu sudah siap dengan sejumlah uang yang sudah diminta sebelumnya . Seperti telah disampaikan terdahulu, di dalam masyarakat tutur Jawa, justru kesantunan berbahasa banyak dimarkahi oleh ketidakjelasan, ketidaklangsungan, kekaburan dan semacamnya. Orang yang terlibat dalam pertuturan diharapkan dapat membaca maksud tersembunyi dari si mitra tutur. Dengan perkataan lain, peserta tutur di dalam sebuah pertuturan harus dapat membaca “sasmita” atau maksud yang terselubung dari si penutur. Dengan demikian, jelas bahwa dalam komunikasi yang sebenarnya, maksim pelaksanaan pada Prinsip Kerja Sama Grice itu seringkali tidak di patuhi atau bahkan mungkin harus dilanggar.
Pada bagian terdahulu sudah dikatakan bahwa pragmatic berkenaan dengan masalah-masalah yang sifatnya nontekstual. Untuk masalah-masalah interpersonal, Prinsip Kerja Sama Grice tidak lagi banyak digunakan, alih-alih digunakan prinsip kesantunan (politeness principle). Prinsip kesantunan yang sampai dengan saat ini dianggap paling lengkap, paling mapan dan relative paling komperehensif telah dirumuskan oleh Leech (1983). Rumusan ini selengkapnya tertuang dalam enam maksim interpersonal sebagai berikut.
1.      Tact maxim: minimize cost to other. Maximize benefit to other.
2.      Generosity maxim: minimize benefit to self. Maximize cost to self.
3.      Approbation maxim: minimize dispraise. Maximize praise of other.
4.      Modesty maxim: minimize praise of self. Maximize dispraise of self.
5.      Agreement maxim: minimize disagreement between self and other. Maximize agreement between self and other.
6.      Sympathy maxim: minimize antipathy between self and other. Maximize sympathy between self and other (Leech, 1983: 119)>
Tersirat dalam pernyataan yang terakhir bahwa prinsip dan maksim percakapan lebih banyak bersifat ‘mengatur’ atau ‘regulatif’ (regulative), dan bersifat ‘sebagai unsur’, atau ‘konstitutif (constitutive) di dalam terminology Searle (1969 : 33 hlm. Selanjutnya ). Yang bersifat ‘konstitutif ialah kaidah-kaidah tata bahasa, karena dianggap sebagai bagian integral dari definisi bahasa tersebut.prinsip dan maksim tidak demikian sifatnya. Bila seorang berbohong ia melanggar salah satu maksim Grice (maksim kualitas), tetapi ini tidak berarti bahwa ia gagal menggunakan bahasa. Bahkan, banyak yang berpendapat, kenyataan bahwa bahasa dapat dipakai untuk berbohong  atau menipu merupakan sebagian dari defenisi bahasa manusia (lihat Lyons, 1977 : 83-4 ; Thorpe, 1972 :33 ).
Di dalam definisi bahasa di atas terdapat satu unsur yang dihilangkan, yaitu unsur moral dan etika yang terdapat dalam istilah-istilah ‘prinsip’ dan ‘maksim’, walaupun unsur ini sebetulnya merupakan arti sehari-hari yang tersirat dalam istilah ‘prinsip’ dan ‘maksim’. Tidak berbohong, misalnya, memang merupakan suatu keharusan moral, namun untuk tujuan-tujuan preskriptif unsur moral tidak dapat dimasukkan dalam suatu penjelasan ilmiah mengenai bahasa. Sebaliknya, untuk tujuan-tujuan deskriptif unsur ini harus dimasukkan. Dengan demikian maksim-maksim merupakan suatu bagian penting dalam deskripsi makna linguistic. Misalnya, dengan maksim-maksim dapat dijelaskan mengapa makna yang terkandung dalam tuturan penutur ‘lebih banyak daripada yang diungkapkan’.
Pernyataan yang mengatakan bahwa manusia biasanya menaati PK, bukan pernyataan yang ingin bersikap moralitas. Namun, tidak dapat diingkari bahwa melalui prinsip-prinsip dan maksim-maksim, nilai-nilai komunikasi, seperti kejujuran , kebenaran mulai masuk ke dalam studi bahasa. Para linguis lazimnya menghindari pembicaraan nilai-nilai tersebut, karena mereka merasa bahwa dengan demikian objektivitas akan berkurang. Namun selama nilai-nilai yang kita bahas merupakan nilai-nilai yang secara empiris memang berlaku dalam masyarakat, dan bukan nilai-nilai yang kita paksakan pada masyarakat, maka tidak ada alasan untuk menyisihkannya dari kajian kita.