Realisme Sosial


A.   Surutnya Realisme Sosial di Indonesia
internet.
Perkembangan realisme sosialis tingkat pertama yang dikomandani oleh Mas Marco belum cukup mendapat waktu untuk membuktikan kemenangan-kemenangan sosialisme, baik dibidang politik maupun sastra. Pada tahun 1926 dengan dipatahkannya pemberontakan November 1926 dan dilikuidasinya partai komunis Indonesia (PKI), berarti surutnya realisme sosialis di Indonesia yang notabene masih pada taraf pertama dalam
perkembangannya.  Ada pun penyebab surutnya realisme sosial di  Indonesia yaitu:
1.      Patahnya pemberontakan 1926, likuidasi atas PKI, Usaha Likuidasi atas PNI (1929)
Pada tahun 1929 – 1931 pemerintahan belanda berusaha melikuidasi partai politik non kooperasi lainnya yang berada dibawah pimpinan Bug Karno, yakni Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Usaha likuidasi ini mempunyai pengaruh yang keras dalam dunia sastra Indonesia karna antara tahun 1926 dan 1929 -1931 ini terletak kesempatan satu-satuny penerbit pemerintah pada saat itu, Balai Pustaka, untuk dapat mengambil hati kalangan masyarakat luas, terutama sekali kaum terpelajarnya dari segala lapisan, dan dari segala siakap politik.
            Gerak –gerik pada pemuda pergerakan, desas-desus adanya kegiatan-kegiatan yang mencemaskan, pemberontakan 1926, yang memperoleh publikasi luas di luar negeri, mengguncangkan keperkasaan dan kewibawaan imperialism internasional: Inggris, Prancis,Belgia, Belanda,Amerika, Portugis, Spanyol pendekatannya hampir seluruh eropa barat publikasi Semaoen pada akhir 1926 dalam pembuangan di Eropa, dan muncul dalam bahasa Belanda,Jerman, Prancis, dan Rusia, membukakan mata dunia pada apa yang sesungguhnya terjadi di Indonesia, dan kekuatan apa yang tumbuh di sana. Karena pemberontakan 1926 gerakan-gerakan  revolusioner mendapat pemberanian yang positif, terutama dikalangan pemuda-pemuda, maka pada tahun 1927 terjadi fusi dikalangan pemuda pelajar untuk mengurangi kemungkinan-kemungkinan pemerintah colonial mengadu domba antara mereka. Setahun kemudian kongres pemuda I berlangsung (1928). Maka tak bisa tidak pemerintah colonial harus melakukan sesuatu, membuat setimbangan.
2.      Salah Asuhan Sebagai Voorschot Kompromial Unilateral Hindia Belanda
Pada tahun 1928, jadi masalah terjadi antara tahun 1926 dan 1929- 1931, Balai Pustaka (BP)  memberikan voorchot  kepada khalayak ramai yang dibunuh  kegiatan politik revolusionernya dengan menerbitkan roman tokoh politik kenamaan: Abdoel Moeis, berjudul Salah Asuhan , sebuah roman semiootobiografik, yang sekaligus merupakan puncak penerbitan  BP. Bahwa ini adalah presentasi terbaik dan terpujikan yang bisa diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda karena kaum intelektual tak perlu ragu-ragu akan maksud baik pemerintah, ini bisa dibuktikan dengan sambutan hangat yang diberikan oleh kaum etisi Belanda dan pers Belanda. Yang semacam ini tak perna terjadi sebelumnya. Dalam pada itu tanpa bisa berbuat sesuatu pun Abdoel Moeis sebenarnya telah jadi korban politik etik Hindia Belanda. salah asuhan dapat dikatakan bila dilihat dari segi penerbitnya itu sendiri, jadi bukan dari sasarannya an sich suati kompromi yang unilateral antara sikap yang diperlunak
            Dengan munculnya slah asuhan pemerintah telah berhasil membuktikan dirinya bisa memberikan bacaan bernilai yang memenuhi syarat-syarat sastra,berisi, dan berhasil pula membuktikan, bahwa sastra yang baik adalah sastra yang jauh dari soal-soal politik ataupun kepartaian. Atau dengan kata-kata lain, politik penerbitan pemerintah colonial telah memenangka perjuangannya dalam menonpolitikkan sastra, bahwa sastra perlawanan itu salah. Emosinya tak terkendali, dan bahasanya buruk.
3.      Sastra Tigapuluhan yang Lunak
Memasuki tahun 30-an dunia sastra Indonesia terpecah dalam berbagai kegiatan dengan sastra perlawanan masih berada dalam keadaan pingsan , dengan realisme sosialis yang Nampak telah pada buat selama-lamanya. Di Medan, terutama dan kemudian disusul pula di Jakarta, Surabaya, dan Solo berunculan sastra tanpa tugas yang bergerak di lapangan detektivisme dan seksualisme, sensasionalisme, tahayulisme, pendeknya dapat digabungkan dalam satu istilah, yakni subjektivismekarena sama sekali menyalahi dan memunggungi masalah pokok rakyat Indonesia dewasa itu memenangkan perjuangan kemerdekaan dan keadilan sosial.
            Dalam tahun 30-an ini masih ada sastra perlawanan, walaupin secara diam-diam dan malu-malu, ditulis oleh seorang Digulis yang berhasil dapat melarikan diri ke Australia dengan menempuh jalan kaki menerobos hutan belantara, sebagian dari kawan-kawan sepelariannya dipenggal lehernya oleh penduduk setempat mereka menyebrangi kali-kali yang sedang banjir penuh buaya dengan alat-alat yang sederhana. Sampai sekarang belum pernah di bicarakan karya sastra perlawanan yang berjudul Lari Dari Digual  ini yang notabene terdiri atas tidak kurang dari tiga jilit dengan kertas dan tipografi yang sangat sederhana, tapi yang telah nencerminkan perjuangan rakyat Indonesia dalam memenangkan kemerdekaan nasional dan keadilan sosial.
            Surutnya sastra perlawanan, yang di dalamnya terdapat sastra realisme sosialis, berarti berkembangnya subjektivisme dalam sastra Indonesia. Subjektivisme disini berasal dari pilihan garapan, pilihan pokok karangan yang sedikit atau banyak menyalahi realitas Nasional yang sedang hidup-hidupnya aspirasi kemerdekaan nasional dan keadilan sosial. Babak surutnya sastra perlawanan dan sastra realisme sosialis bermula disini.
            Demikianlah, dengan surutnya sastra perlawanan umunya, dan sastra realisme sosialis khususnya, sastra Insdonesia sempat bergelandangan seakan-akan tak tahu lagi apa yang mesti di perbuat. Pengucapan sastra yang mengalami perfeksi, bentuk-bentuk sastra, yang menggairahkan dan mengilhami selama ini, di lihat dari kebutuhan nasioanl itu sendiri sesungguhnya harus di nilai sebagai karya subjektiv di luar beberapa karya Chairil Anwar sebagai keluarbiasaan, serta beberapa  karya lainnya yang kurang penting nilai historiknya. Realisme yang timbul semasa revolusi adalah realisme borjuis, yakni realisme yang tidak membutuhkan perkembangan dialektik dan secara dialektik berarti “ realisme untuk melawan realismeitu  sendiri”  alias suatu mistifikasi atas realitas .
B.   Humanisme Universal dan Kelahiran Kembali Realisme Sosiis
1.      Humanisme Universal : politik etik Hindia Belanda dalam jubah baru. Dengan semakin merosotnya pandangan dan tindakan pemerintah dan jajahan di tengah-tengah dunia modern yang semakin maju ini, dikalangan orang-orang Belanda muncul sebuah organisasi yang meneruskan pemikitan etik menjelang abad XX ini, yang menghendaki dipercerahnya pemerintahan colonial di Hindia Belanda. Mereka menamakan dirinya golongan progresif, sedang organisasinya bernama” De Stuw”. Dimana revolusi nasional sedang berlangsung, pimpinan colonial, yakni kekuatan yang memerangi revolusi nasional, baik di bidang pemerintahan maupun kebudayaan,berada ditangan golongan progresif “ De Stuw “ sebelum perang dunia II, diantaranya H.J Van Mook, sedang menteri jajahannya adalah juga bekas anggota “ De Stuw “. Di bidang kebudayaan golongan “progresif” di Indonesia waktu itu antara lain di komandani  oleh Drs. Roh Nieuwenhuis dan kawan-kawannya, mengeluarkan penerbitan-penerbitan “orientatie”, “ kritiek en opbouw”, “ tijdsein”, dan sebagainya, dengan penerbitannya yang cukup kuat yang bernama Nv. Opbouw/ pembangunan yang sekarang  jadi PT  pembangunan di gunung sahari, Jakarta.
 Humanism Universal tidak akan ada tanpa adanya humanisme ( dalam arti yang paling elementer), malahan humanism itu sendiri meragukan adanya selama masih ada barier-barier sosial di dalam kehiduan yang bernama kelas dan pelapisan-pelapisannya. Karena dalam keadaan demikian yang ada hanya humanism kelas dn humanism lapisan, sedang diluar kelas dan lapisan itu yang ada hanyalah sumber hisapan untuk dapat berlabgsung hidupnya kelas dan lapisan penghisap.
2.      Avant- Gardisme: Humanisme Universal Via  “Gelanggang”
Dokume-dokumen otentik “gelanggang” ini sendiri menjelaskan kepada kita betapa dangkalnya parasastrawan yang tergabung di dalamnya pada waktu itu. Pada tanggal 17 januari 1950 oleh Usmar Ismail dan Sitor Situmorang diambil inisiatif untuk mengkonsolidasi seniman-seniman berpaham “Humanisme Universal” ini kedalam satu organisasi. Naskah pernyataan asli “gelanggang” menjadi landasan dari inisiatif ini, dan dari sini Nampak benar adanya tuntunan keras golongan seniman tertentu ini untuk mendapat “ kebebasan” tanpa “ mendapat halangan dari pihak mana pun dalam batas-batas undang-undang yang barlaku”,. Subjektivitas ini tak lain berasal dari udim realitas, berasal dari idealisme, dari menara gading. Sedang baik alinea 2 maupun 3 mencerminkan subjektivitas yang “sakitan” dari sastrawan tertentu yang merasa paerlu memesan tempat khusus di dalam masyarakat itu sedang pretense “ kehumanisan “ nya Nampak dalam alinea 5 dimana Avan- Gardisme enjadi panji-panji, suatu prestasi seakan diri manusia yang termaju di dalam masyarakarnya. Avan- Gardisme ini sesungguhnya mentah-mentah berasal dari masyarakat borjuis yang menggunakan istilah gagah-gagah yang hakikatnya hanya untuk membedakan diri seajuha mungkin dari rakyat: bertambah jauh bertambah gagah dan barharga. Tidak jelas bagaimana nasib Avan Gardisme “ Gelanggang” ini yang segera lenyap tak tentu kuburnya setelah membacakan surat kepercayaannya di paviliun Hotel Des Indes pada bulan juni 1950.
3.      Lekra Berdiri sebagai Sumber Realisme Sosialis
Golongan seniman yang lebih mementingkan realitas, dan dihayati oleh keyakinan akan kebenaran sosialisme, melihat meruyak dan meningkatnya bahaya yang mengancam perkembangan pemikiran dikalangan budayawan dan seniman dan dengan sendirinya juga sepak terjangnya, mendirikan organisasi yang dinamai Lembaga Kebudayaan Rakyat pada tanggal 17 agustus 1950. Mengambil inisiatif adalah D. N. Aidit, M. S. Ashart, A. S. Dharta, dan Njoto.dan bila dipergunakan pernyataan Lekra sendiri.
            Kelahiran Lekra disini dapat dinilai sebagai reaksi terhadap realitas politik cultural yang mencemaskan serta melihat jelas, bahwa pengucapan kebudayaan dan sastra khusunya harus berdasarkan realitas yang sedang berkembang, dan terutama sekali pengucapa-pengucapan tersebut harus di pertanggung jawabkan secara politik. Kesalahan mau pun kekeliruan-kekeliruan di masa-masa yang lalu ini menyebabkan dimasa ini sering di ucapakan.  Sebelumnya harus jadi manipolis dulu, sebelum jadi pengarang, atau bila meminjam kata-kata Ho Chi Minh dalam salah satu pidatonya tentang pengarang-pengarang Tiongkok “ orang bilang, di tiongkok sana, mula-mula Jadilah seorang komunis, baru kemudian jadi pengarang”
            Pemikiran politik yang salah mudah sekali mengalutkan pandangan sosial pengarang, dan bentuk-bentuk serta pengucapan sastra yang secara akademik memenuhi segala syarat mungkin bisa menjadi wadah kekalutan yang tak perlu ada.
C.   Cara- Cara Menguasai Metode Realisme Sosialis Secara Massal
Sastra realisme sosialis dapat disenyawakan dengan sastra Gayaduren-an karena mempunyai banyak persamaan dalam sifat-sifatnya  dengan duren. Pertama, sebelum melihatnya sekalipun, dari jauh orang sudah mencium bauhnya. Bila dihampiri yang didapatkan adalah perbentengan duri yang kukuh. Hanya dengan kerja saja orang bisa “me-demontirnya”. Sekalipun perbentengannya yang sekaligus bersifat defensive dan agresif, didalamnya tersusun secara rapi dagingnya yang lezat,gurih, dan lengit.
            Mungkin perbandingan tersebut dianggap “agrarik” bagi mereka yang sok modern. Namun kenyataannya, untuk dapat menghasilkan karya sastra realisme sosialis, biarpun tidak berhasil, harus ditempuh metode yang paling modern bersyarat ganda dan berat.
            Slogan sebagai salah satu pendidikan missal dan kolektif dalam memenangkan realisme sosialis dapat dibagi dalam 2 golongan. Yaitu:
1.      Memperkuat kesadaran politik sebagai kebutuhan peningkatan kekuatan politik sesuai dengan kenyataan bahwa musuh-musuh rakyat tidak akan tinggal diam dan terus mencari jalan untuk meneruskan “penghisapan manusia atas manusia” dalam berbagai bentuk dan pernyataannya, sedang dalam peningkatan politik ini harus terbawa juga konsolidasi kedalam.
2.      Memberikan pegangan taktis sebagai kebutuhan mengembangkan keahlian dan pelaksanaan mengemukakan, mengungkapkan, dan tetap mengenal persoalan poko plus sasarannya sekaligus. Betapa pentingnya semboyan-semboyan golongan dalam  meningkatkan kemampuan dan slogan pokok sebagai berikut :
a.       Garis yang tepat dan garis yang salah adalah semboyan untuk tetap menguasai persoalan asasi dalam dunia kebudayaan dewasa ini dimana ada dua kekuatan yang berhadap-hadapan, suatu pertarungan prinsipil antara seni untuk seni untuk rakyat lawan seni untuk seni,antara ilmu untuk rakyat lawan ilmu untuk ilmu.
Dalam pertarungan ini dibuat menjadi semakin jelas persoalan semasa, yakni golongan yang mendapat kemajuan dan keberuntungan berkat keringat sepanjang zaman, dan golongan yang melalui kegiatan kebudayaan menolak adanya privile go imbumam ini dan sementara itu berusaha mengembalikan hak rakyat atas keringatnya sendiri yang telah terampas sepanjang zaman.
b.      Meluas dan meninggi adalah semboyang untuk pegangan prinsipil dan politik dan taktis kreatif. Meluas dalam arti perangkuman pengetahuan tentang massa,” meniggi dalam arti meningkatkan mutu kreatif yang harus di berangi dengan peningkatan terus menerus dari mutu ideologi, atau gabungan peningkatan mutu ideologi dan artistic, gabungan antara peningkatan politik dan kebudayaan yang di dalamnya mengandung perpaduan yang wajar antara patriotisme da internasionalisme.
c.       Politik adalah panglima merupakan semboyang pegangan, agar sebelummelakukan penggarapan seni, orang orang harus mengajinya dari jurusan politik. Kesalahan politi lebih jahat dari kesalahan artistic.
d.      (gerakan) turun kebawah adalah semboyang yang di dalammnya mengandung ketentuan, bahwa untuk dapat menguasai realitas kehidupan massa, setiap pengarang harus biasa atau membiasakan diri memasuki kehidupan massa itu sendiri, belajar dari pengalaman massa, ikut dengan suka duka massa.