Toleransi (Foto: Int) |
Jika gender disamakan dengan kelamin maka yang muncul adalah sifat kodratiah. Sifat kodratiah ini cenderung memenjarakan perempuan di ranah domestik. Misalnya saja hanya sebatas pemahaman bahwa perempuan memiliki kodrat melahirkan dan membesarkan anak di rumah. Perempuan yang didomestikasi karena kodratnya merupakan hasil konstruksi sosial masyarakat patriarki. Mungkin aspek ini yang membuat kaum perempuan belum terpuaskan dengan perjuangan emansipasi.
Banyak gerakan yang diciptakan oleh para feminis untuk memerangi stigma tersebut. Lalu rentetan implikasinya menjadi panjang, bahkan sebagian justru menjebak perempuan secara kodrati. Lalu ada Kementerian Pemberdayaan Perempuan, gerakan responsif gender, persyaratan nisbah laki-laki dan perempuan dalam pengangkatan jabatan, jumlah anggota dan kepengurusan suatu organisasi, dsb. Bahkan yang ekstrim ada demonstrasi pembakaran bra (BH) oleh sejumlah perempuan di negara Barat sebagai simbol penolakan perbedaan gender. Semakin gencar tuntutan persamaan itu, semakin menjauhkan perempuan dari jati dirinya.
Memang ada sejumlah fakta dalam masyarakat yang terlihat secara lahiriah tidak responsif gender. Tingginya angka pengangguran yang didominasi perempuan, rendahnya tingkat pendidikan perempuan, minimnya upah untuk pekerja perempuan, gerbong kereta khusus, dsb. Tetapi sekali lagi, ini bukan menunjukkan ketidakberhasilan perjuangan Kartini, semata-mata hanya jejak kodrati bahwa memang selayaknya bukan persamaan yang mestinya diperjuangkan, tetapi kesetaraan. Setara memang tidak sama, tetapi justru ketidaksamaan itu bentuk upaya budaya kita menghormati perempuan. Tak terbayangkan, kalau semua perempuan tiba-tiba menjadi laki-laki.
Perempuan perkasa, mandiri, tidak cengeng, bisa melakukan apa saja yang dilakukan laki-laki (bahkan naik atap benerin genteng bocor), tomboy, tanpa make up, bisa karate. Kadang diperlukan, tetapi sekaligus juga ancaman serius peran laki-laki. Toh semaju apapun peradaban, sejujurnya laki-laki tetap rindu rengekan manja perempuan, agar bahu ini juga tak kehilangan fungsi sebagai tempat bersandar kepalanya. Paling tidak, teteplah berpura-pura butuh perlindungan, agar laki-laki tetap bisa sok jagoan.
Meski begitu saya masih setuju aspirasi dari kaum feminis yang dinilai radikal untuk memperoleh keadilan yang substantif. (*)
Penulis: Agus Susilohadi
-Pencetus program SM-3T dan
-Kabag Penganggaran dan Penganggaran Direktorat Jenderal Sumber Daya IPTEK Dikti Kemenristekdikti