1.
Sori
Siregar
Saya
Ingin Berdialog
Sori
Siregar, lahir 12 November 1939 di Medan. Menurutnya, menulis merupakan alat
untuk berdialog. Berdialog dengan siapa saja tentang pengalaman, perasaan, duka
cita, dan kegembiraan. Saling bertukar pikiran, pendapat, protes, atau
kebencian dengan siapa saja dan di mana saja. Baginya, menulis dan membaca
adalah suatu kebutuhan. Berhenti membaca seakan-akan membuat gila. Berhenti
menulis terasa menyiksa. Menulis merupakan kebutuhan yang sukar ditolak
pemenuhannya.
Internet |
Karena
sekadar ingin berdialog itulah Sori Siregar sangat tidak mementingkan teknik
bercerita. Bentuk, terpojok menjadi sekunder karena yang penting adalah pesan.
Mungkin ini yang membuat cerpen-cerpennya sering terasa kering dan seakan
dibuat tergesa. Cara penyampaiannya terasa konvensional dan berbau laporan.
Tidak mementingkan kata-kata indah atau ungkapan baru. Semuanya terasa lancar
dan tanpa renungan. Ingin membicarakan hal besar, tetapi yang disinggung hanya
secuil, seperti kata Salim Said.
Bagaimana
seorang Sori Siregar mengarang? Jawabannya, tidak ada pola yang tetap. Beliau
bisa saja mengarang setelah lama menyimpan suatu ide atau pengalaman. Dalam
menulis, beliau tidak memilih-milih tempat. Di mana saja dan kapan saja. Tempat
yang tenang tanpa gangguan memang ideal dan menyenangkan. Tetapi di tengah
hiruk-pikuk juga tidak menjadi persoalan. Bagi beliau, tidak ada keharusan
begini dan begitu dalam menulis. Yang penting tidak dalam keadaan capek atau
mengantuk.
Sori
Siregar merupakan salah seorang pengarang yang lebih menyukai menulis cerpen
daripada novel. Dengan cerpen, kita bisa bicara singkat tetapi padat. Sementara
dengan novel, kita harus berpanjang-panjang dan menjaga kesinambungan. Cerpen
dapat disiarkan dengan cepat di majalah atau surat kabar, sedangkan novel lain
ceritanya. Penerbit di Indonesia sering kali “menyiksa” pengarang dengan
menyuruh menunggu bertahun-tahun. Bahkan ada penerbit yang sudah meng-ACC novel
yang diterimanya, kemudian mengembalikan novel itu dengan alasan: tidak akan
laku dijual. Ironis!
Dalam
menulis, Sori Siregar harus merampungkannya ceritanya sekaligus. Kalau cerita
tersebut tidak selesai, beliau tidak ingin menyimpannya. Beliau hanya
memperbaiki kesalahan ketik atau kesalahan kalimat. Setelah itu lalu dikirim ke
majalah atau surat kabar. Beliau tidak pernah berkeinginan memperbaiki yang
sudah jadi. Baginya, lebih baik menulis yang baru daripada memperbaiki yang
sudah jadi.
Sori
Siregar tidak pernah percaya dengan yang disebut “ilham”. Beliau hanya meyakini
sentuhan pengamatan. Pengamatan terhadap situasi, tokoh, kejadian, biasanya
merupakan dorongan untuk menulis. Artinya, kalau batin tersentuh dan ide
muncul. Itu saja sudah cukup untuk memulai. Ide penulisan dapat pula timbul
karena bacaan, obrolan, pengalaman, kemarahan, kebencian, dan lain-lain.
Dalam
menulis, Sori Siregar tidak pernah membuat kerangka cerita atau menentukan
perwatakan, usia, dan sebagainya, lebih dahulu. Beliau lebih suka, semua itu
tercipta dalam proses penulisan.
Sebagai
penulis, beliau juga sangat memerhatikan pendapat orang lain, meskipun tidak
banyak pengamat yang membicarakan karya-karyanya. Kritikan-kritikan yang
diterimanya dianggapnya sebagai sejumlah kelemahan yang harus diperbaiki.
Dengan
hidup penuh sebagai pengarang, beliau merasa dapat lebih sering berdialog,
memberikan lebih banyak, dan menjadi lebih berarti.
Novelnya,
Wanita Itu Adalah Ibu (1978),
memengangi Hadiah Perangsang Kreasi dalam Sayembara Mengarang Roman Dewan
Kesenian Jakarta tahun 1978, sedang novel Telepon
(1982) memenangkan hadiah harapan dalam sayembara serupa tahun 1979.
Karyanya
yang lain: Dosa Atas Manusia (1967), Senja (1979), Di Antara Seribu Warna (1980), Susan
(1981), Awal Musim Gugur (1981), dan Reuni 91982).
2.
Hamsad
Rangkuti
Dari
Bakat Alam ke Teknik
Hamsad
Rangkuti, lahir 7 Mei 1943 di Titikuning, Medan. Beliau merupakan salah seorang
pengarang yang memiliki bakat alam. Dikatakan memiliki bakat alam karena beliau
merupakan seorang pengelamun yang parah. Beliau dapat bertahan selama
berjam-jam bertengger di atas pohon dan membiarkan pikirannya melayang-layang membaur
dengan apa saja yang ada di sekitarnya. Meskipun sulit dikontrol, namun beliau
menikmatinya.
Kecintaannya
terhadap dunia tulis-menulis bermula ketika beliau mendapat “gangguan batin”
setelah membaca sebuah karya. Kadang-kadang gangguan batin itu mengganggu
pikiran berminggu-minggu lamanya.
Maka
mulailah timbul keinginan dalam dirinya untuk menjadi seseorang yang bisa
menghasilkan karya tulis yang tentunya dapat mengganggu ketenangan orang lain.
Beliau ingin membagi apa yang dirasakan kepada orang lain, seperti apa yang
dirasaan oleh pengarang yang karyanya dibaca beliau. Beliau pun mencobanya.
Ingin mengganggu orang lain lewat karya tulis. Motivasi semacam itulah yang
menjadikan beliau seorang penulis.
Seperti
yang telah dipaparkan sebelumnya, Hamsad Rangkuti tergolong penulis yang
berbakat alam. Beliau tidak pernah mendapatkan pendidikan khusus tentang
kepengarangan. Beliau hanya mendapatkan teori penulisan dari buku Teknik Mengarang karya Mochtar Lubis. Oleh sebab itulah
barangkali beliau menganggap dirinya sebagai pengarang yang tidak produktif.
Tidak sebagai tukang cerita yang setiap saat bisa menghasilkan karya. Beliau
memelukan waktu berbulan-bulan untuk bisa menghasilkan karya yang baru setelah
menghasilkan sebuah karya.
Tahun
1975 merupakan tahun pergeseran Hamsad Rangkuti dari pengarang berbakat alam ke
pengarang yang menguasai unsur teknik. Tahun itu beliau mendapat ksempatan
mengikuti workshop penulisan skenario
di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ). Di sanalah penulis mendapatkan
ilmu kepenulisan. Beliau mulai mengenal unsur-unsur yang harus dikuasai oleh
seorang penulis. Ternyata semua keahlian itu ada ilmunya. Tidak terkecuali
dunia kepenulisan. Apakah ilmu itu mendatangkan kebaikan kepada kepengarangan
Hamsad Rangkuti? Tentu saja! Beliau sudah dapat dikatakan sebagai seorang
penulis yang produktif. Dalam sebulan bisa menulis beberapa cerita pendek.
Sekarang,
beliau sudah bisa menciptakan sebuah cerpen dari apa yang didengar, dari apa
yang dilihat, dan dari apa yang telah dibacanya di koran.
Menurut
pengalaman Hamsad sendiri, setiap akan memulai sebuah cerita, beliau terlebih
dahulu menentukan teknik apa yang akan digunakan. Tidak bisa trance, katanya. Beliau tidak begitu
memerlukan mood untuk mengarang.
Cerita itu diselesaikan di dalam kepala, baru kemudian dituliskan. Adapun
dialog-dialog yang muncul pada saat mengarang adalah semacam orang berjalan
melihat sesuatu di sepanjang perjalanannya. Kalau kita berjalan di pantai, kita
tentu akan melihat laut. Kalau kita berjalan di gunung, kita tentu akan melihat
jurang-jurang yang menganga. Maka, kalau Hamsad mengarang, dialog-dialog itu
akan muncul menyesuaikan kehadirannya dengan cerita.
Pada
dasarnya, mengarang bagi Hamsad adalah berpikir. Menimbang-nimbang komposisi,
menyeleksi informasi, membangun unsur dramatik, dan memasukkan unsur keindahan.
Bukan berhanyut-hanyut dengan kata-kata, atau menjadi pedagang kata-kata.
Baginya, membuat cerita itu berarti harus pandai merangkai kata.
Sampai
saat ini, Hamsad sangat mengandalkan diri pada teknik. Dengan teknik, beliau
bisa menjadi lebih produktif. Pengetahuan teknik yang didapatkan adalah semacam
juru selamat untuk profesi kepengarannya. Kalau saja pengetahuan tentang teknik
itu tidak pernah didapatkannya, mungkin saja beliau akan menjadi pengarang
berbakat alam yang mati karya sebelum waktunya. Teknik adalah untuk para
tukang, kata mereka. Teknik adalah untuk para pemula.
Novelnya
yang pertama, Ketika Lampu Berwarna Merah
(1979), memenangi Hadiah Harapan dalam Sayembara Penulisan Roman Dewan Kesenian
Jakarta tahun 1980 dan dimuat bersambung dalam harian Kompas (1981).
Kumpulan
cerpennya: Lukisan Perkawinan (1982),
Cemara (1982), Sampah Bulan Desember (2000), dan Bibir dalam Pispot (2003).
3.
Danarto
Jelmaan
Ruang-Waktu
Danarto,
lahir 27 Juni 1940 di Mojowetan, Sragen, Jawa Tengah. Sastra bagi Danarto
merupakan jelmaan ruang dan waktu. Danarto merasa tidak pernah terikat oleh
tempat. Apalagi yang disebut: Barat-Timur. Dari sinilah Danarto dapat
menuliskan tema, alur, kejadian, tokoh-tokoh, dan tempat terjadinya peristiwa.
Setidaknya seperti inilah paradigmanya dalam sastra.
Yang
menjadi pikirannya adalah bagaimana menulis segala sesuatu yang ada kaitannya
dengan jelmaan ruang-waktu itu. Dari sini sangat erat berhubungan dengan kata,
kalimat, menyusun baris-baris, jarak secara fisik, baris-baris kalimat yang
satu dengan lainnya. Bahkan irama dan tempo membaca Danarto perhitungkan.
Sebelum
mulai menulis, Danarto membuat sketsa terlebih dahulu. Sebuah gambar
coret-coretan yang memaparkan tempat berlangsungnya peristiwa. Suatu tempat di
mana para tokoh akan bermunculan dan memainkan peran. Suatu penakdiran.
Peran-peran itu tidak saja menjelma dalam hubungannya dengan ruang-waktu,
tetapi mereka akan bermain dengan makhluk-makhluk lainnya. Pada dasarnya,
manusia, binatang, tumbuhan, dan benda-benda adalah sederajat. Kemampuannya
dalam menjelma itulah yang sering membedakannya. Meskipun mereka sebenarnya
satu keturunan.
Karena
ditelan ruang-waktu, sastra menjadi perlu untuk bercerita. Dan cerita itu
dituntut cocok dengan lingkungannya. Tentu saja Danarto menaruhkan kecocokan
itu dengan lingkungan bumi seluruhnya. Keadaan jasmani kita yang seperti inilah
yang membuat kita cocok hidup di dunia seperti ini. Atau keadaan dunia yang seperti
ini yang melahirkan seperti ini. Makhluk-makhluk di matahari tentunya memiliki
bentuk yang lain lagi. Itulah sebabnya peran-peran dalam cerpen Danarto juga
berupa katak, kembang, zat asam, dan Allah. Allah kelihatannya berhubungan
mesra dengan kita. Hanya karena makhluk sebangsa manusia ini kurang bisa
memahami maksud-Nya, sehingga kebanyakan dari kita sring jengkel. Bagaimana
mungkin kita sebagai barang ciptaan bisa jengkel kepada yang menciptakan kita?
Karena
semuanya Allah, lalu di mana kebenaran dan bukan kebenaran? Yang Danarto tahu
pasti bahwa segalanya itu hanyalah sebuah proses. Tak ada menang, tak ada
kalah. Tak ada benar, tak ada salah. Yang ada hanya proses.
Itulah
sebabnya Danarto tidak percaya ada sastra
untuk sastra dan sastra untuk rakyat.
Yang ada sebenarnya hanya sastra yang baik dan sastra yang jelek. Hingga urusan
seorang penulis adalah daerah penciptaan. Ketika berhadapan dengan daerah ini,
penulis ditantang. Dan seorang penulis boleh menggunakan segala macam senjata.
Sesukanya!
Ketika
proses duduk di atas segalanya, maka ia menjadi dasar pandangan penulisan.
Tidak ada sesuatu pun yang bisa dipegang. Karena apa yang terpegangdi dalam
proses adalah sedang berproses. Tokoh-tokoh mengalir di dalam dirinya sendiri.
Peristiwa mengalir di dalam dirinya sendiri.
Kalau
ada tokoh dalam cerpen Danarto kelihatan paling benar, maka adalah kebenaran
dalam proses. Jika ada yang kelihatan paling salah, maka adalah kesalahan dalam
proses. Ini semua memengaruhi cara penulisan Danarto. Bisa saja suatu ketika
Danarto terhanyut tanpa kendali. Apakah ada kebenaran selain kebenaran dalam
proses? Lalu Danarto pun merangkai-rangkai kalimat yang mengalir. Deras.
Biarlah kalimat-kalimat itu sukar dipegang, sebagaimana proses.
Lalu
Danarto kemudian mendobrak kata-kata untuk mentransformasikan dirinya jadi
daging. Bahkan daging itu lalu mengubah bentuknya sebagaimana ruang-waktu
menghendakinya. Kalimat demi kalimat disusun berjenjang-jenjang yang sama
pengertiannya, supaya bisa melukiskan suatu perjalanan dalam ruang-waktu.
Karena perubahan ruang-waktu terasa, maka kalimat-kalimat yang
berjenjang-jenjang yang sama pengertiannya itu terasa tidak sama lagi
pengertiannya.
Cerpennya,
“Rintrik”, mendapat hadiah majalah Horison
tahun 1968, dan kumpulan cepennya, Adam
Ma’rifat (1982), memenangkan Hadiah Sastra Dewan Kesenian Jakarta 1982.
Karyanya
yang lain: Godlob (1976), Obrog Owok-owok, Ebreg Ewek-ewek (1976),
Asmaraloka (1999), dan Setangkai Melati di Sayap Jibril (2001).