Pemuda (Rejuvinasi) Wayang dan Museum

Ilustrasi (Foto;Int)
Terasedukasi.com-Konfigurasi atau mazhab pendidikan [ala] wayang Jawa memiliki paralelisme atau kesejajaran dengan pemikiran pendidikan modern atau zaman sekarang selain memiliki universalitas dan aktualitas pada masa sekarang. Ini mengimplikasikan, pendidikan wayang dapat memberikan sumbangsih atau kontribusi berarti bagi pendidikan modern atau zaman sekarang, bahkan pendidikan pada masa depan.

Setidak-tidaknya wayang dan pendidikan wayang dapat memberikan sumbangsih bagi berkembangnya apa yang akhir-akhir ini disebut sebagai pendidikan yang tanggap terhadap budaya lokal atau pedagogi responsif budaya lokal.
Oleh sebab itu, wayang [sebagai lakon, pertunjukan, dan komunitas] perlu dipertahankan, dipelihara, dibugarkan, dan divitalkan. Bahkan dikembangkan supaya mampu memberi sumbangsih bagi dunia pendidikan zaman sekarang, lebih-lebih zaman akan datang. Di sinilah diperlukan kebijakan dan program pemertahanan, pemeliharaan, pemvitalan (revitalisasi), dan pengembangan serta pelindungan wayang. Untuk itu, diperlukan pemudaan (rejuvinasi) wayang.

Dalam usaha pemertahanan, pemeliharaan, pemvitalitasan, dan pengembangan serta perlindungan wayang tersebut museum dapat atau harus mengambil peran yang berarti (signifikan). Pendek kata, museum – tentu saja terutama museum wayang – dapat menjadi wahana pemudaan wayang. Kehadiran, kedudukan, dan fungsi atau peran museum wayang bisa fundamental atau amat penting dalam kelangsungan dan keberlanjutan hidup wayang selama museum dikelola dan dikembangkan secara kreatif dan produktif, kalau perlu dijalankan secara inovatif.

Mengapa demikian? Pertama, secara genealogis dan etimologis museum bukan sekadar tempat (place), apalagi tempat dokumentasi belaka, melainkan sebuah ruang (sphere) spiritual-sakral dan intelektual yang sangat bermakna bagi kehidupan masyarakat tertentu, mengingat sejarah museum tak bisa dilepaskan dari kuil dan perpustakaan. Di samping itu, secara historis museum merupakan ruang yang memungkinkan ilmu (sains) dan seni ditumbuhkan dan dikembangkan oleh para ilmuwan dan seniman selain disebarluaskan kepada khalayak, mengingat sejarah museum bergelimang dengan kegiatan sains dan seni.

Kedua, selain sebagai tempat dokumentasi (benda-benda dan barang-barang), secara sosiologis museum merupakan ruang interaksi manusiawi, relaksasi, rekreasi, dan edukasi yang tidak tersekat-sekat oleh berbagai batas dan tidak bertingkat-tingkat tata aturannya secara rumit (terpadu dan utuh). Di museum pengunjung bisa melakukan kegiatan belajar sekaligus berjumpa, bersapa, dan bersantai secara manusiawi. Dalam hubungan ini pendampingan dan pembinaan diperlukan oleh pihak museum.

Ketiga, secara sosiopsikologis museum bisa berfungsi sebagai wahana apresiasi, internalisasi, dan habituasi nilai-nilai masa lalu demi kepentingan masa depan termasuk di dalamnya nilai karakter bangsa. Di sinilah dapat direncanakan dan dilaksanakan berbagai program dan kegiatan berkenaan dengan wayang. Bukan saja pertunjukan wayang, tetapi juga perlu apresiasi sastra wayang, bermain wayang untuk mengakrabkan diri dengan waayang, dan sarasehan lakon dan budaya wayang untuk pembatinan nilai-nilai wayang. Tentulah program dan kegiatan lain dapat dikembangkan. (*)

Penulis: Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd.
(Guru Besar Fakultas Sastra UM)