Masyarakat dalam menggunakan bahasa harus memiliki
pengetahuan tentang bahasa. Pengetahuan ini berupa sistem bahasa dan konteks.
Bahasa merupakan sebuah sistem. Sistem artinya cara atau aturan. Sebagai sebuah
sistem bahasa itu sekaligus bersifat sistematis dan sistemis. Sistematis
artinya bahasa tersusun menurut suatu pola, tidak tersusun secara acak secara
sembarangan. Sistemis artinya bahasa itu bukan merupakan sistem tunggal tetapi
terdiri juga dari sub-sub sistem atau sistem bawahan. Bahasa terdiri dari
unsur-unsur atau komponen-komponen yang secara teratur tersusun menurut pola
tertentu dan membentuk suatu kesatuan. Jenjang subsistem dalam linguistik
dikenal dengan nama tataran linguistik atau tataran bahasa. Kajian linguistik
dibagi dalam beberapa tataran yaitu tataran fonologi, tataran morfologi,
tataran sintaksis, tataran semantik, dan tataran leksikon.
Kajian linguistik dapat dikotomikan menjadi dua,
yaitu kajian mikrolinguistik meliputi teori linguistik, linguistik deskriptif,
dan linguistik historis komparatif, sedangkan kajian makrolinguistik fonetik
terapan, meliputi bidang interdisipliner (fonetik, stilistika, filsafat bahasa,
psikolinguistik, sosiolinguistik, etnolinguistik, semiotika, dll.) dan bidang
terapan (pengajaran bahasa, penerjemahan, mekanolinguistik, pembinaan bahasa
khusus, dll.).
Masyarakat, khususnya individu sebagai pengguna
bahasa harus memiliki pengetahuan terhadap konteks penggunaan bahasa. Konteks
ini meliputi knowledge of the world yang berupa knowledge structures, yaitu struktur
pengetahuan tentang kehidupan dan knowledge of language yang berupa language
competency.
Jika pengetahuan tentang kaidah-kaidah bahasa dapat
dipahami disertai konteksnya, bahasa dapat digunakan oleh pemakai bahasa yang
tergabung dalam masyarakat bahasa. Masyarakat ini sangat berpotensi dalam
melakukan perubahan makna atau menciptakan makna baru.
Bahasa memiliki berbagai fungsi. Munif (2008)
menyatakan bahwa Finocchiaro (1974) telah membagi fungsi bahasa menjadi 6
(enam), yaitu (1) fungsi personal, yaitu bahasa digunakan untuk mengekspresikan
emosi, kebutuhan kebutuhan, , pikiran, sikap seseorang seseorang, (2) fungsi
interpersonal, yaitu bahasa digunakan untuk memelihara relasi relasi-relasi
sosial sosial. Contoh sapaan, ucapan selamat , dll. (3) fungsi direktif, yaitu
bahasa bisa digunakan untuk mengontrol perilaku orang lain dalam bentuk
nasihat, , perintah, ajakan, diskusi, dll. (4) fungsi referensial, yaitu bahasa
digunakan untuk membicarakan objek atau kejadian dalam lingkungan atau budaya
tertentu tertentu, (5) fungsi imaginatif, yaitu bahasa digunakan untuk
melahirkan karya sastra yang berbasis pada kekuatan imaginasi imaginasi. Contoh
novel, puisi, cerpen, dll. Lebih lanjut dijelaskan bahwa menurut Halliday
fungsi bahasa dibagai menjadi 9 (sembilan), yaitu (1) fungsi instrumental, “I
want function”, bahasa digunakan untuk memanipulasi dan mengontrol lingkungan,
(2)fungsi regulatori: “Do as I tell you function”; bahasa digunakan untuk
memberikan instruksi dan aturan, (3) fungsi interaksional; “Me and you
function”; bahasa digunakan untuk menentukan dan mengkonsolidasi kelompok, (4)
fungsi personal, (5) fungsi heuristic, “Tell me why function”; bahasa sebagai
alat untuk mempelajari sesuatu, (6) fungsi imaginatif, (7) fungsi informatif;
bahasa digunakan untuk menjelaskan dunia nyata, (8) fungsi permainan, dan (9)
fungsi ritual.
Untuk mengenali apa itu bahasa atau bukan dapat
dilihat melalui karakter bahasa. Banyak para ahli merumuskan karakter-karakter
bahasa. Karakter-karakter ini adalah (1) bahasa merupakan seperangkat bunyi,
(2) hubungan antara bunyi bahasa dan objek referensinya, (3) bersifat arbitrer,
(4) bahasa itu bersistem, (5) bahasa adalah seperangkat lambang, dan (6) bahasa
bersifat sempurna (Archibal A Hill dalam Munif, 1998)
Widyartono (2008) menjelaskan bahwa penggunaan
bahasa Indonesia diatur melalui politik bahasa nasional. Kedudukan bahasa
Indonesia dituangkan dalam Sumpah Pemuda dan Undang-Undang Dasar 1945. Sumpah
Pemuda 1928 berisi pengakuan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa nasional.
Undang-undang Dasar 1945 Bab XV Pasal 36 menyatakan bahwa ”Bahasa Negara ialah
Bahasa Indonesia”. Sumpah Pemuda 1928 dan Undang-Undang Dasar 1945 memberikan
dasar yang kuat bagi pemakaian bahasa Indonesia.
Mengacu pada kedudukan bahasa yang tertuang dalam
Sumpah Pemuda 1928, bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa nasional. Melalui
fungsi inilah, bahasa Indonesia menjelma sebagai (1) identitas nasional, (2)
lambang kebanggaan nasional, (3) bahasa pemersatu seluruh bangsa Indonesia, dan
(4) sarana untuk untuk memelihara, menumbuhkan, mengembangkan, dan melestarikan
kebudayaan nasional (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Lebih lanjut, dijelaskan bahwa selain dalam
peristiwa Sumpah Pemuda, kedudukan bahasa Indonesia diperkokoh dengan UUD 1945
sebagai bahasa resmi negara. Fungsi sebagai bahasa resmi negara meliputi (1)
sebagai bahasa penyelenggaraan pemerintahan dan administrasi negara, (2)
sebagai bahasa komunikasi bagi seluruh warga negara Indonesia, (3) sebagai
bahasa pengantar untuk pendidikan dan pengajaran, dan (4) sebagai bahasa
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Melalui Undang-Undang 1945 bahasa Indonesia
memiliki fungsi politik bahasa nasional. Fungsi politik ini dapat digunakan
sebagai perencanaan serta pengembangan bahasa nasional, meliputi a) fungsi dan
kedudukan bahasa nasional dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain, b) penentuan
ciri-ciri bahasa Indonesia baku, c) tata cara pembakuan dan pengembangan bahasa
nasional, d) pengembangan pengajaran bahasa nasional pada semua jenis dan
tingkah lembaga pendidikan, mulai dari tingkat sekolah dasar sampai tingkat
perguruan tinggi (KBBI).
Melalui fungsi politik di atas, bahasa Indonesia
diharapkan menjadi alat komunikasi antardaerah, antarbudaya, antargeografi
dalam kesatuan wilayah NKRI. Oleh karena itu, sangat diperlukan pembakuan
bahasa Indonesia yang berfungsi sebagai alat pemersatu, berkarakteristik
tertentu, berwibawa, dan sebagai acuan bersama. Fungsi pembakuan ini penting
untuk mengawal pembakuan bahasa Indonesia dari perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi modern yang secara tidak langsung memengaruhi perkembangan bahasa
Indonesia. Pertambahan kosakata baru muncul dari pengaruh bahasa asing negara
maju. Warga negara Indonesia diharapkan tidak bergantung sepenuhnya pada
bahasa-bahasa asing. Oleh karena itu, siapa lagi yang akan menjaga bahasa
Indonesia kalau bukan warga negara Indonesia sendiri.
Keanekaragaman penduduk Indonesia dengan berbagai
bahasa, daerah, dan budaya menumbuhkan banyak varian pemakaian bahasa. Varian
bahasa yang berbeda-beda menurut pemakai yang berasal dari daerah
tertentu/kelompok sosial/waktu kurun tertentu disebut dialek.
Berdasarkan pengertian dialek diatas, ragam bahasa
ditinjau dari kelompok penuturannya dapat dibedakan menjadi 4 (empat), yaitu a)
dialek regional, ragam bahasa yang digunakan di daerah tertentu sehingga
membedakan dengan ragam bahasa yang dipakai di daerah lain, misalnya bahasa
Melayu dialek Ambon, dialek Jakarta (Betawi), atau bahasa Melayu dialek Medan,
b) dialek sosial, yaitu dialek yang digunakan oleh kelompok masyarakat tertentu
atau yang menandai tingkat masyarakat tertentu, misalnya dialek wanita dan
dialek remaja, c) dialek temporal, yaitu dialek yang digunakan pada kurun waktu
tertentu, misalkan contohnya dialek Melayu zaman Sriwijaya dan dialek Melayu
zaman Abdullah, d) idiolek, yaitu keseluruhan ciri bahasa seseorang.
Meskipun bahasa yang dipakai bahasa Indonesia,
tentu tiap individu memiliki dikotomi Noam Chomsky, yaitu kompetensi dan
performansi yang berbeda. Kompetensi kebahasaan tiap individu berbeda. Karena
perbedaan kompetensi ini tiap individu tentu memiliki performansi tata bahasa
yang berbeda. Hal ini juga berlaku pada pembentukan artikulator tiap indvidu
yang memengaruhi pelafalan dalam berbicara. Begitu juga dengan jumlah
perbendaharaan kata tiap individu yang sangat berpengaruh terhadap pemilihan
kata (diksi) baik dalam menulis maupun berbicara.
Ditinjau dari media penyampaiannya, ragam bahasa
dapat dikotomikan menjadi dua, yaitu ragam lisan dan ragam tulis. Ragam lisan
meliputi ragam percakapan, ragam pidato, ragam kuliah, dan ragam panggung,
sedangkan ragam tulis meliputi ragam teknis, ragam undang-undang, ragam
catatan, dan ragam surat-menyurat.
Widyartono (2008) menyatakan bahwa ditinjau dari
penggunaannya, ragam bahasa dapat dipilah menjadi empat, yaitu (1) ragam beku
digunakan dalam khutbah Jum’at, naskah kesejarahan misalnya misalnya teks
Proklamasi, Piagam Jakarta, Sumpah Pemuda, Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945,
dll. (2) ragam formal digunakan dalam situasi formal, misalnya pidato
kenegaraan, pidato kepala pemerintahan, sambutan resmi, dll., (3) ragam
semiformal digunakan dalam situasi yang semiformal. Situasi ini misalkan dapat
ditemukan dalam pengajaran yang menuntut aksi-reaksi dosen/guru dengan
mahasiswa/siswa. Dalam situasi pengajaran seorang dosen/guru kurang tepat jika
menggunakan ragam bahasa baku, dan (4) ragam santai digunakan
antarteman/saudara dalam situasi yang santai, akrab, hangat, antarteman, sesama
anggota keluarga, bukan dalam situasi yang formal.
Menurut Imam Syafi’i (2009) bahwa ragam bahasa
dapat dibedakan menjadi lima, yaitu ragam beku, ragam baku, ragam formal, ragam
kasual, ragam sehari-hari. Masyarakat dalam menggunakan bahasa dilandasi oleh
kepentingan. Kepentingan ini dilakukan untuk memperoleh kekuasaan melalui
politik dalam menggunakan bahasa. Bahasan ini akan dibahas lebih detil dalam
bab bahasa dan politik.
Telaah Kritis
int |
Shan Wareing dalam buku Bahasa, Masyarakat, dan
Kekuasaan ini tidak melakukan kajian terhadap hakikat bahasa secara utuh.
Kajian yang dilakukan hanya melihat bahasa sebagai sistem. Walaupun fokus
kajian hanya mengkorelasikan bahasa, masyarakat, dan kekuasaan tetap dipandang
perlu untuk menghadirkan karakter-karakter yang lain.
Fungsi bahasa hanya dijelaskan secara umum. Untuk
mengetahui peranan bahasa dipandang perlu untuk menjelaskan fungsi-fungsi
bahasa. Melalui fungsi-fungsi ini dapat diperoleh gambaran tentang peranan
bahasa. Sebagai pengantar, fokus kajian hanya berdasarkan fungsi referensi yang
mengacu pada sesuatu dan fungsi afektif yang mengacu pada siapa yang berhak
mengatakan apa, di mana. Hal ini erat kaitannya dengan kekuasaan dan status
sosial. Fokus kajian ini tidak berdampak negatif karena kajian yang akandilakukan
lebih fokus terkait hubungan bahasa dan peranannya di masyarakat.
Daftar Rujukan
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta:
Rineka Cipta.
Munif. 2008. Bahasa: Pengertian, Karakteristik, dan
Fungsinya. (Slide Presentasi).
Syafi’I Imam. 2009. Problematika Pembelajaran
Bahasa Indonesia. Ceramah Perkuliahan Magister Pendidikan Bahasa Indonesia.
Malang: PPS UM
Tim Penyusun dari Depdiknas. 2005. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Thomas, Linda dan Shan Wareing. Ibrahim, Abdul
Syukur (ed). 1999. Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Widyartono, Didin. 2008. Bahasa Indonesia untuk
Penulisan Karya Ilmiah. Handout. Malang: Indus Nesus Private