Topik-topik yang dibahas dalam rekayasa bahasa
antara lain:
A. Kebijaksanaan Bahasa
Berdasarkan rumusan yang disepakati dalam seminar
politik bahasa nasional yang diadakan di Jakarta tahun 1975 maka kebijaksanaan
bahasa itu dapat diartikan sebagai suatu pertimbangan konseptual dan politis
yang dimaksudkan untuk dapat memberikan perencanaan, pengarahan, dan
ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar bagi pengolahan
keseluruhan masalah kebahasaan yang dihadapi oleh suatu bangsa secara nasional
(Halim, 1976). Jadi, kebijaksanaan bahasa merupakan satu pegangan yang bersifat
nasional untuk membuat perencanaan tentang cara membina dan mengembangkan satu
bahasa sebagai alat komunikasi verbal yang dapat digunakan secara tepat di
seluruh negara, dan dapat diterima oleh segenap warga yang secara lingual,
etnis, dan kultur berbeda.
Tujuan kebijaksanaan bahasa adalah berlangsungnya
komunikasi kenegaraan dan komunikasi interbangsa dengan baik tanpa menimbulkan
gejolak sosial dan emosional yang dapat mengganggu stabilitas bangsa.
Kebijaksanaan bahasa merupakan usaha kenegaraan
suatu bangsa untuk menentukan dan menetapkan dengan tepat fungsi dan status
bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di negara tersebut, agar komunikasi
kenegaraan dan kebangsaan dapat berlangsung dengan baik. Selain memberikan
keputusan mengenai status dan fungsi suatu bangsa, kebijaksanaan bahasa juga
harus memberi pengarahan terhadap pengolahan materi bahasa yang biasa disebut
korpus bahasa. Korpus bahasa menyangkut semua komponen bahasa yaitu fonologi,
morfologi, sintaksis, kosakata, dan semantik. Komponen ini harus juga diperhatikan
agar kebijaksanaan itu bersifat menyeluruh dan tuntas. Selanjutnya segala
masalah kebahasaan yang ditemukan dalam menetapkan kebijaksanaan harus segera
dirumuskan dalam bentuk perencanaan bahasa.
B. Perencanaan Bahasa
Perencanaan bahasa merupakan kegiatan yang harus
dilakukan sesudah melakukan kebijaksaan bahasa. Istilah perencanaan bahasa
mula-mula digunakan oleh Haugen (1966) untuk pengertian usaha untuk membimbing
pengembangan bahasa ke arah yang diinginkan oleh para perencana. Menurut Haugen
perencanaan bahasa itu tidak semata-mata meramalkan masa depan berdasarkan dari
yang sudah diketahui pada masa lampau, tetapi perencanaan itu merupakan usaha
yang terarah untuk mempengaruhi masa depan.
Di Indonesia, kegiatan yang serupa dengan language
planing ini sebenarnya sudah berlangsung sebelum nama itu dikenal ole Haugen
yakni sejak zaman pendudukan jepang ada Komisi Bahasa Indonesia sampai ketika
Alisahbana menerbitkan majalah Pembina Bahasa Indonesia tahun 1948. Bahkan,
jika dilihat lebih jauh, language planning di Indonesia sudah dimulai sejak Van
Ophuijsen menyusun ejaan bahasa Melayu (Indonesia) pada tahun 1901 , disusul
dengan berdirinya Commisie voor Volkslectuur tahun 1908, yang pada tahun 1917
berubah namanya menjadi Balai Pustaka, lalu disambung dengan Sumpah Pemuda
tahun 1928 kemudian Kongres Bahasa 1 tahun 1938 di Solo (Chaer & Agustina,
1995: 244).
Istilah yang digunakan Alisyahbana adalah language
engineering. Cita-cita Alisyahbana adalah mengembangkan bahasa yang teratur di
dalam konteks perubahan sosial, budaya dan teknologi yang lebih luas
berdasarkan perencanaan yang cermat. Menurut Alisyahbana, language engineering
yang penting adalah pembakuan bahasa, pemodernan bahasa, dan penyediaan alat
perlengkapan seperti buku pelajaran dan buku bacaan (Moeliono, 1985).
Dari uraian di atas ada berbagai istilah dengan
berbagai variasi pengertian tentang perencanaan bahasa. Namun, ada suatu
kesamaan, yaitu usaha untuk membuat penggunaan bahasa atau bahasa-bahasa dalam
satu negara menjadi lebih baik dan lebih terarah di masa depan.
Dari berbagai kajian dapat dilihat sasaran
perencanaan bahasa itu (yang dilakukan setelah menetapkan kesatuan bahasa
nasional dan bahasa resmi kenegaraan), yaitu pembinaan dan pengembangan bahasa
yang direncanakan (sebagai bahasa nasional, bahasa resmi kenegaraan, dsb) dan
khalayak di dalam masyarakat yang diharapkan akan menerima dan menggunakan
saran yang diusulkan dan ditetapkan.
C. Pembakuan Bahasa
1. Bahasa Baku
Berbicara tentang bahasa baku (lebih tepat disebut
ragam bahasa baku) dan bahasa karena yang disebut bahasa baku itu adalah salah
satu variasi bahasa (dari sekian banyak variasi) yang diangkat dan disepakati
sebagai ragam bahasa yang akan dijadikan tolok ukur sebagai bahasa yang baik
dan benar dalam komunikasi yang bersifat resmi baik lisan maupun tulisan.
Bahasa ragam baku adalah ragam bahasa yang sama
dengan bahasa resmi kenegaraan yang digunakan dalam situasi resmi kenegaraan
termasuk dalam pendidikan, dalam buku pelajaran, dalam undang-undang, dsb.
Sejalan dengan itu, Halim mengatakan bahwa bahasa baku adalah ragam bahasa yang
dilembagakan dan diakui oleh sebagian warga masyarakat pemakaiannya sebagai
ragam resmi dan sebagai kerangka rujukan norma bahasa dan penggunaanya,
sedangkan ragam tidak baku adalah ragam yang tidak dilambangakan dan ditandai
dengan ciri-ciri yang menyimpang dari norma baku. Sebagai kerangka rujukan,
ragam baku ditandai oleh norma dan kaidah yang digunakan sebagai pengukur benar
atau tidaknya penggunaan bahasa.
2. Fungsi Bahasa Baku
Selain fungsi penggunaan untuk situasi-situasi
resmi, ragam bahasa baku menurut Gravin & Mathiot (1968 :785-787) juga
mempunyai fungsi lain yang bersifat sosial politik, yaitu 1)fungsi pemersatu,
2)fungsi pemisah, 3) fungsi harga diri, 4) fungsi kerangka acuan.
Yang dimaksud dengan fungsi pemersatu adalah
kesanggupan bahasa baku untuk menghilangkan perbedaan variasi dalam masyarakat
dan membuat terciptanya kesatuan masyarakat tutur serta memperkecil adanya
perbedaan variasi dialektal dan menyatukan masyarakat tutur yang berbeda
dialeknya.
Yang dimaksud dengan fungsi pemisah adalah ragam
bahasa baku itu dapat memisahkan atau membedakan penggunaan ragam bahasa untuk
situasi yang formal dan yang tidak formal. Pemisahan fungsi ragam baku dan
nonbaku tidak akan menimbulkan persoalan atau gejolak sosial selama ragam-ragam
tersebut digunakan pada tempatnya.
Yang dimaksud dengan fungsi harga diri dalah bahwa
pemakai ragam baku itu akan memiliki perasaan harga diri yang lebih tinggi
daripada yang dapat menggunakannyasebab ragam bahasa baku biasanya tidak dapat
dipelajari dari lingkungan keluarga atau lingkungan hidup sehari-hari. Ragam
baku hanya dapat dicapai melalui pendidikan. Fungsi harga diri ini menurut
Fishman (1970) bahwa ragam bahasa baku mencerminkan cahaya kemuliaan, sejarah,
dan keunikan seluruh rakyat. Ragam baku juga merupakan lambang atau simbol
suatu masyarakat tutur.
Yang dimaksud dengan fungsi kerangka acuan adalah
ragam bahasa baku itu akan dijadikan tolok ukur untuk norma pemakaian bahasa
yang baik dan benar secara umum.
Keempat fungsi itu dapat dilakukan oleh sebuah
ragam bahasa baku kalau ragam bahasa baku itu telah memiliki tiga ciri yang
sangat penting, yaitu : 1) kemantapan yang dinamis, 2) kecendekiaan dan 3) ciri
kerasionalan.
3. Pemilihan Ragam Baku
Dari sekian banyak ragam atau variasi suatu bahasa,
ragam atau variasi mana yang harus dipilih untuk dijadikan ragam bahasa baku?
Dalam hal ini Moeliono (1975: 2) mengatakan pada umumnya yang layak dianggap
bahasa baku adalah ujaran dan tulisan yang dipakai oleh golongan masyarakat
yang paling luas pengaruhnya dan paling besar kewibawaanya. Termasuk di
dalamnya para pejabat negara, para guru, warga media massa, alim ulama, dan
cendekiawan.
Dasar atau kriteria yang dapat digunakan untuk
menentukan atau memilih sebuah ragam menjadi ragam bahasa baku antara lain: 1).
Otoritas, 2). Bahasa penulis-penulis terkenal, 3). Demokrasi, 4). Logika, dan
5). Bahasa orang-orang yang dianggap terkemuka dalam masyarakat.
Dewasa ini otoritas untuk pembakuan bahasa Indonesia
ada pada Lembaga Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. Oleh karena itu, dalam proses pembakuan bahasa Indonesia sudah
seharusnya lembaga ini mencari dan mengumpulkan data (yang di ambil dari orang
terkemuka), menganalisis, mengatur, dan menyusun kaidah-kaidah lalu
menyebarluaskan kepada masyarakat luas.
4. Bahasa Indonesia Baku
Secara resmi fonem-fonem bahasa Indonesia telah
ditentukan keberadaannya tetapi mengenai lafal atau ucapannya belum pernah
dilakukan pembakuan. Namun, ada semacam konsensus yang merumuskannya berbentuk
negatif, bahwa yang disebut lafal bahasa Indonesia yang benar adalah lafal yang
tidak lagi menampakkan ciri-ciri bahasa daerah.
Pembakuan dalam bidang ejaan telah selesai
dilakukan untuk bahasa Indonesia. Pembakuan ejaan ini telah melalui proses yang
cukup panjang. Dimulai dengan ditetapkannya ejaan Van Ophuijsen pada tahu 1901,
dilanjutkan dengan perbaikannya yang disebut ejaan Suwandi atau ejaan Republik
pada tahun 1947, lalu diteruskan dengan penyempurnaan dengan ditetapkannya EYD
pada tahun 1972 dan revisinya pada tahun 1988.
Pembakuan dalam bidang tata bahasa juga sudah
dilakukan yakni dengan telah diterbitkannya buku tata bahasa yang diberi nama
Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
Pembakuan bahasa Indonesia dalam bidang kosakata
dan peristilahan juga telah lama dilakukan. Pembakuan unsur leksikal dapat
dilihat dari (1) ejaan, (2) lafalnya, (3) bentuknya, dan (4) sumber pengambilannya.
![]() |
Int |
Berkenaan dengan adanya ragam bahasa lisan dan
ragam bahasa tulis, serta adanya derajat kebakuan, Halim (1980) menyatakan
perlunya dibedakan ragam baku lisan dengan ragam baku tulis. Perlu pula
dibedakan ragam baku nasional dengan ragam baku daerah sehubungan dengan sangat
sukarnya menentukan kebakuan ragam bahasa lisan.