Kendaraan, Tanda, dan Kuasa

Ilustrasi (Foto:Int)
Salah satu unsur transportasi darat yang sangat penting adalah alat transportasi yang biasa kita sebut kendaraan, sebuah alat berkendara.

Kendaraan darat ini bisa tradisional dan modern. Kendaraan darat tradisional bisa berupa kuda, gajah, becak, dokar, cikar, dan gledekan, sedang kendaraan darat modern dapat berupa bus, mobil, dan truk. Dari waktu ke waktu, jumlah, jenis, ragam, merek, model, dan bentuk kendaraan terus-menerus bertambah dan berubah, bahkan tak sebanding dengan pertambahan ruas jalan dan perubahan kondisi jalan.

Pertambahan dan perubahan itu disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya perkembangan teknologi otomotif, bisnis otomotif, jumlah penduduk atau pengendara dan penumpang, dan kecenderungan sosial budaya tertentu, misalnya kecenderungan gaya hidup dan pengelompokan manusia.

Fungsi kendaraan pun kemudian juga berkembang. Kendaraan tak lagi berfungsi sebagai alat transportasi belaka. Lebih dari itu, ia juga telah menjelma menjadi tanda bagi pengendara dan atau penumpangnya. Dengan kata lain, kendaraan tidak hanya berfungsi instrumental-transportatif, tetapi juga berfungsi semiotis-kultural.

Misalnya, kendati sama-sama berfungsi instrumental-transportatif, namun becak dan mobil Pajero/Fortuner/Alphard memiliki fungsi semiotis-kultural yang berbeda: becak tanda transportasi kelas bawah yang tradisional, mesti dipinggirkan, dan malah disingkirkan; sedangkan mobil Pajero/Fortuner/Alphard tanda transportasi kelas menengah-atas, mesti  dilayani, dan malah diutamakan.

Ini berarti, kendaraan telah menjelma sebagai tanda sosial-ekonomi dan gaya hidup (kultural) bagi pengendara dan atau penumpangnya. Becak atau angkutan kota telah menjelma menjadi tanda sosial-ekonomi dan gaya hidup bagi masyarakat kelas bawah atau menengah-bawah, sedangkan Pajero/Fortuner/Alphard telah menjadi tanda sosial-ekonomi, kultural, dan gaya hidup bagi masyarakat kelas menengah-atas dan atas. Jadi, kendaraan telah menjadi atribut, bahkan tanda eksistensial masyarakat.

Berhubung setiap tanda berkaitan dan atau membawa kuasa tertentu, kendaraan sebagai tanda eksistensial masyarakat pun berurusan dengan kuasa tertentu pula. Patut dipahami, kuasa di sini, pinjam konsep Michael Foucault -- tokoh pascamodernisme dari Prancis itu -- tak hanya dalam arti politis, tetapi juga ekonomis, hukum, sosial, dan lain-lain.

Demikianlah, sekali lagi, kendaraan sebagai tanda masyarakat memancarkan medan-medan magnetis kuasa politis, ekonomis, sosial, hukum, dan lain-lain. Itu sebabnya, jenis, ragam, merek, model, desain, dan bentuk kendaraan mampu menampilkan dan memancarkan permainan, bahkan pertarungan kuasa tertentu. Penggunaan merek, model, desain, dan bentuk kendaraan tertentu oleh para pengendara dan atau penumpang sebenarnya memantulkan permainan kuasa oleh para pengendara dan atau penumpang itu, bahkan sekarang komunitas pengguna.

Penggunaan mobil Pajero/Fortuner/Alphard di komunitas tertentu, sebagai contoh, menampilkan bentuk dan sosok kuasa politis, ekonomis, dan hukum tertentu.

Karena kuasa lebih banyak berhubungan dengan kepentingan dan retorika, bukan kasih sayang atau filantropi dan logika, maka kendaraan sebagai tanda eksistensial masyarakat telah menjadi sebagai representasi kepentingan dan retorika.

Misalnya, karena kepentingan ekonomi tertentu, maka suatu kendaraan yang bermerek, bermodel, berdesain, dan berbentuk canggih dihadirkan dan yang lainnya dimusnahkan; karena kepentingan "keindahan" kota, suatu jenis desain dan model digusur dan dimusnahkan. Demikianlah, demi keindahan kota-kota besar metropolitan di Indonesia, becak-becak atau cikar dilarang masuk kota, bahkan dimusnahkan.

Demi keindahan kota -- biar mendapat Adipura, misalnya -- becak, cikar, dan dokar dilarang melewati jalan tertentu meskipun fungsi utama jalan bersifat umum dan sosial. Demi keunikan orang tertentu, maka dibuat nomor mobil tertentu yang tidak cocok dengan sistem yang ada. Demi keunikan eksistensial orang tertentu, maka mobil dipermak atau diotak-atik sedemikian rupa dengan tidak menghiraukan keamanan dan peraturan keamanan yang berlaku.

Demi kepentingan kenyamanan pengendara tertentu, maka diciptakan jalan-jalan komersial yang disebut jalan tol -- yang sebenarnya menghilangkan fungsi sosial jalan sebagai bentuk pelayanan publik. Bahkan demi kenyamanan dan kelapangan melaju, komunitas mobil bermerek tertentu menguasai sepanjang jalan dengan meminta pengendara kendaraan lain untuk minggir, melapangkan laju kendaraan mereka di tengah jalan yang sekarang makin macet di mana-mana. Demikianlah, kendaraan, jalan, pengendara atau penumpang telah bertungkus lumus dengan kuasa yang ada di baliknya.

Itu sebabnya, transportasi yang kita artikan sebagai segala ihwal pengangkutan menjadi representasi medan atau arena atau habitus permainan, bahkan pertarungan kekuasaan. Bahkan sekarang permainan atau pertarungan kuasa di jalan-jalan raya di Indonesia tampak begitu keras, brutal, dan tak manusia. Ini paling jelas termanifestasikan ke dalam jenis, merek, model, dan bentuk kendaraan. Di samping itu, termanifestasikan dalam pengaturan jalur-jalur jalan.

Demikianlah, jalan sebagai unsur tanda dalam transportasi telah menjadi saksi berlangsungnya permainan atau pertarungan kuasa yang sangat keras dan brutal. Di negara kita, jalan telah benar-benar menjadi representasi utama permainan atau pertarungan kekuasaaan yang diaktori oleh kendaraan, sebuah tanda semiotis yang punya aneka wajah.

Lihatlah, perilaku para pengemudi mobil dan motor roda dua di jalan-jalan! Masing-masing menjalankan kendaraannya berdasarkan kuasa yang dimilikinya, bukan berdasarkan peraturan, etika, dan norma yang ada. Seorang pengemudi angkutan kota niscaya berteriak dan memaki-maki bilamana perjalanan angkutan kotanya terganggu oleh (tukang) becak.

Seolah-olah jalan milik para pengemudi angkutan kota itu! Berlagak laku seperti polisi jalan raya, sebuah rombongan komunitas Pajero atau bahkan motor tertentu bisa menghardik pengemudi lain untuk minggir demi kelapangan dan kenyamanan laju kendaraan mereka. Demikian juga (tukang) becak seenaknya sendiri menerjang lampu lintasan jalan yang sedang berwarna kuning (yang merupakan tanda dilarang terus). Seolah-olah yang terkena peraturan lalulintas hanya kendaraan modern atau bermotor.

Jika ada tabrakan antara mobil atau sepeda motor dengan becak, selalu saja yang disalahkan adalah pengemudi mobil atau sepeda motor. Seolah-olah tukang becak tidak bisa salah, sebaliknya pengemudi mobil atau sepeda motor selalu salah. Jelas semua itu menunjukkan bahwa dunia transportasi kita telah banyak kehilangan etika dan norma, bahkan peraturan karena permainan atau pertarungan kuasa (baik ekonomis maupun politis) lebih banyak berbicara secara keras dan brutal. Kita menyaksikan brutalitas dan banalitas pertarungan kuasa.

Ketika kuasa lebih banyak berbicara atau malah mengambil alih dalam dunia transportasi, ada kecenderungan etika dan norma lebih banyak diam atau surut, bahkan bangkrut. Dengan kata lain, ketika terjadi hegemoni kekuasaan, etika dan norma sering tenggelam, malah bangkrut. Keadilan, kepantasan, kekasihsayangan, dan ketanggungjawaban cenderung tenggelam di dunia transportasi kita karena kuasa menjadi hegemonis yang destruktif. Banyak orang menumpuk jumlah dan model mobil demikian banyak hingga melewati batas kepantasan. Pejalan kaki, pengendera kendaraan tradisional dan kelas bawah, dan penumpang kendaraan umum banyak diperlakukan tidak adil baik di jalan-jalan maupun kendaraan.

Ketika terjadi kecelakaan atau tabrakan, ada kebiasaan korban ditinggalkan begitu saja dan pelakunya melarikan diri; seolah-olah tak bersalah atau tak bertanggung jawab. Dalam banyak hal, yang menjadi pecundang dalam dunia transportasi di negeri kita adalah masyarakat kelas bawah dan menengah- bawah dan kendaraan-kendaraan yang sudah tergolong tradisional karena memang tak memiliki kuasa yang relatif kuat atau berimbang.

Dalam kondisi demikian terasa ada regimentasi [pereziman] dalam dunia transportasi kita di Indonesia, yaitu dunia transportasi yang hanya memihak kepentingan dan keperluan tertentu, bukan kebutuhan publik -- baik masyarakat kelas bawah maupun menengah dan atas. Regimentasi dalam dunia transportasi kita ini tentulah menjauhkan dunia transportasi menunaikan fungsi pelayanan publik. Dengan kata lain, dunia transportasi bukan lagi sebagai sebuah bentuk pelayanan publik.

Jelas hal ini tak menguntungkan karena bisa mengganggu, bahkan merusak sendi-sendi kohesi sosial. Jikalau sendi-sendi kohesi sosial sampai rusak niscaya akan terjadi anomali sosial. Kita pun sebenarnya sudah menyaksikan gejala-gejala adanya anomali sosial di dunia transportasi kita.

Setidak-tidaknya hal ini tampak pada semrawut dan macetnya lalu lintas kita di jalan-jalan raya, ugal-ugalannya para pengendara kendaraan bermotor di jalan-jalan raya, laku lajuk komunitas mobil dan motor tertentu, dan seenaknya sendiri para tukang becak menerobos lampu traffic light. Pelbagai anomali sosial ini telah tumbuh di dunia transportasi kita karena dunia transportasi mengalami regimentasi sehingga transportasi kehilangan fungsi pelayanan publik.


Sebab itu, perbaikan dunia transportasi kita, dalam arti mengembalikan transportasi ke dalam fungsi utamanya sebagai bentuk pelayanan publik yang aman dan nyaman, mestinya dimulai dari penguraian atau penghilangan regimentasi tanda semiotis. Kebijakan publik di  bidang transportasi mestinya diarahkan ke 'pengusiran penyakit' regimentasi  tanda semiotis.

Syaratnya, ditegakkannya peraturan perlalulintasan, etika dan norma sosial pada satu pihak dan pada pihak lain dikuranginya hegemoni kuasa yang destruktif (baik politis, ekonomis, dan hukum maupun lainnya) di dunia transportasi. Pengurangan hegemoni kuasa di dunia transportasi ini tentu  perlu disertai dengan usaha pengembalian eksistensi kendaraan dan transportasi ke dalam fungsi instrumental-transportatifnya dan penghilangan fungsi simbolis-kultural kendaraan dan transportasi.

Di sini diperlukan pembebasan tanda semiotis berupa kendaraan. Tapi, saya kira, ini semua tak mudah dikerjakan. Soalnya, penataan atau pengurangan hegemoni kuasa dan regimentasi destruktif di dunia transportasi bukan membalik telapak tangan. Begitu juga melakukan pembebasan tanda semiotis berupa kendaraan. (*)

Penulis: Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd.
(Guru Besar Fakultas Sastra UM)