• PERIODE BALAI PUSTAKA
Pemerintah Belanda pada tahun 1908 mendirikan
sebuah badan penerbit dengan nama Commkssie voor de Volkslectuur atau Taman
Bacaan Nasional. Awal mula adanya badan penerbit commissie voor volksclectuur
yaitu bermula dari kebijakan pemerintah Belanda menerapkan politik etis.
Pemerintah Belanda menyadari salah satu langkah untuk menarik simpati rakyat
Indonesia adalah mendirikan sekolah-sekolah untuk bumiputera. Di samping itu,
kepandaian membaca dan menulis semakin luas di kalangan rakyat. Hal tersebut
oleh pemerintah Belanda dianggap suatu bahaya jika dibiarkan mendapat buku-buku
bacaan yang sifatnya menghasut rakyat Indonesia.
Setelah badan penerbit commissie voor de
volkslectuur berjalan selama kurang lebih 9 tahun,memperlihatkan kemajuan yang
sangat pesat maka pada tahun 1917 namanya diubah menjadi Balai Pustaka. Periode
Balai Pustaka dikenal pula dengan nama angkatan Siti Nurbaya dan juga lazim
disebut angkatan dua puluhan.
Pada periode ini dikenal beberapa pengarang dengan
karangannya masing-masing, baik puisi, roman/novel maupun drama antara lain
Muhammad Yamin, Sanusi Pane, dan Roestam Effendi dan lain-lain. Dapat dikatakan
bahwa jumlah pengarang pada periode ini cukup banyak. Mungkin hal ini
disebabkan karena mereka didorong oleh keinginan dan semangat yang sama yaitu
mengungkapkan pengetahuan dan pengalaman yang mereka peroleh dari barat (dalam
bentuk roman) dan didorong pula oleh semangat untuk mencapai kemerdekaan
bamgsanya (dalam bentuk puisi).
Ciri-ciri ekstrinsik karya sastra periode balai
pustaka antara lain
Karya sastranya masih bersifat didaktis atau
mengandung nasihat.
Bersifat romantis
Latar kehidupan yang digunakan yaitu masih latar
kehidupan sehari-hari.
Ciri-ciri intrinsic karya sastra periode balai
pustaka antara lain
Tema yang digunakan kebanyakan bertema percintaaan
(permaduan)
Latar ceritanya pedesaan atau kehidupan daerah
Cita-cita kebangsaan masih belum dipikirkan
• PERIODE PUJANGGA BARU
Periode ini sebenarnya merupakan suatu realisasi
dari menggeloranya semangat persatuan yang hidup di kalangan bangsa Indonesia
sejak permulaan abad 20 dengan dipelopori oleh kaum terpelajar, yaitu pada 28
Oktober 1928 menyatakan tekad mengadakan Sumpah Pemuda.
Pada waktu itu golongan sastrawanpun tak mau
ketinggalan berjuang untuk membentuk persatuan bangsa dengan mengadakanpembaharuan
dalam bidang kesusastraan. Hal itu dapat dilihat dari mejalah Timboel, Majlah
Panji Pustaka yang sejak tahun 1932 dipimpin oleh Sutan Takdir alisyahbana. Di
samping itu, angkatan 30-an muncil akibat ada tali kendali Balai Pustaka yang menyebabkan
pengarang-pengarang muda merasa terisolasi oleh ketemtuan-ketentuan tersebut,
sehingga tidak mengherankan jika akhirnya mereka berprakarsa untuk mendirikan
perkumpulan lain yang lebih sesuai sebagai tempat penyaluran keinginan dan
cita-cita mereka. Dengan bermodalakn keinginan, kemauan, dan semangat pada
akhirnya lahirlah sebuah ikatan para pengarang muda yang kemudian lebih dikenal
dengan nama Pujangga Baru.
Adapun yang dianggap sebagai pelopor angkatn
Pujangga Baru itu ialah Sutan Takdir Alisyahbana, Sanusi Pane, Armijn Pane, dan
Amir Hamzah. Roman yang paling terkenal pada masa ini yaitu roman karangan
Sutan takdir Alisyahbana yang berjudul Layar Terkembang.
Ciri-ciri intrinsik karya sastra periode Pujangga
Baru antara lain:
Puisinya telah banya dipengaruhi oleh puisi dari
luar yaitu dari Belanda
Karya satra yang dihasilkan sudah tidak
menggunakan kata-kata ambigu
Menggunakan prosa lurus dan teknik bulat
Perwatakan yang digunakan belum bervariasi
Masi belum menggunakn kalimat yang mengandung
peribahasa
Masih bersifat romantic
Ciri-ciri ekstrinsik karya sastra periode Pujangga
Baru antara lain:
Latar ceritanya telah bersifat mesyarakat modern
Nasionalisme telah ditampakkan
Karya sastra puisinya diterbitkan oleh swasta.
• PERIODE JEPANG
Zaman penjajahan Jepang di bumi Indonesia mempunyai
arti yang sangat penting dalm perputaran sejarah Indonesia. Bahasa Indonesia
yang pada mulanya oleh pemerintah Belanda diusakan dengan berbagai cara agar
tidak menjadi bahasa persatuan, oleh pemerintah Jepang justru dijadikan
satu-satunya bahasa yang harus digunakan di seluruh Nusantara dan sekaligus
dalam seluruh bidang kehidupan, sedangkan bahasa Belanda dilarangnya. Dengan
demikian jelas memacu pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia, maka
sastra Indonesia pun mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sederajat
dengan pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia itu sendiri. Namun
ternyata pemerintah Jepang mengetahui dampak dari penggunaan bahasa Indonesia
itu sendiri. Serta pada masa ini terjadi pertentangan sastrawan dimana Chairil
Anwar dan kawan-kawan tidak ingin bergantung dengan lembaga-lembaga yang
didirikan oleh pemerintah Jepang, sementara sastrawan Amiruddin dan kawan-kawan
mendukung pemerimtahan Jepang
Sastrawan-sastrawan yang telah muncul dan aktif
pada periode Jepang antra lain Usmar Ismail, Idrus, Rosihan Anwar, Chairil
Anwar dan lain-lain. Karya sastra yang paling dominan pada periode ini adalah
cerita drama. Hal itu dikarenakan pada masa itu warga Indonesia jenuh terhadap
roman-roman dan mulai melirik cerita drama atau sandiwara-sandiwara.
Ciri-ciri karya sastra periode Jepang antara lain:
Karya sastra seperti puisi, cerpen drama bersifat
simbolik karena selalu dihantui bahwa karyanya akan disensor oleh lembaga-lembaga
Jepang.
Karya sastranya berisi sindiran kepada lembaga
Belanda yang saling bertentangan.
Karya sastra yang ditampilkan berisi kebimbangan
atau keraguan.
• PERIODE 45
Pengakuan berdirinya angkatan 45secara sah dan
resmi yaitu berdasarkan surat kepercayaan gelanggang yang tertanggal 18
Februari 1950. Surat kepercayaan gelanggang tersebut berisi bahwa mereka akan
menuju kebudayaan dunia yang universal. Jadi, Kebudayaaan Indoenesia baru itu
tidak saja disajikan hanya untuk bangsa Indonesia saja, melainkan kepada
manusia dunia. Hal ini berarti kebudayaan baru harus meninggalkan jejak
kebudayaan lama yang henya selalu mementingkan unsur-unsur kedaerahan saja.
Dengan kata lain, bahwa Angkatan 45 mempunyai konsepsi humanisme universal.
Pelopor Angkatan 45 antara lain Idrus dan Chairil
Anwar. Idrus dipandang sebagai pelopor pengarang prosa dalam angkatan 45 karena
dengan corat-coretnya yang berjudul Soerabaya dan corat0coret di bawah tanah
degan tegas ia membuktikan putusnya hubungan antara prosa sebelum perang dan
setelah perang. Seperti halnya dengan Chairil Anwar dengan puisinya yang
berusaha mengadakan pembaharuan kebiasaan yang kolot. Demikian halnya dengan
Idrus membawa perubahan dalam bidang prosa ialah berupa kesederhanaan yang
membedakan prosa pada zaman sebelumnya. Jika kita simak, pada hakikatnya
kesusastraan angkatan 45 tidak dapat dipisahkan dari kesusastraan zaman
pemerintahan Jepang, baik dalam hal bentuk, isi, maupun gaya bahasanya. Dalam
ini tidaklah mengherankan mengingat bahwa pengarang yang tampil pada awal
periode 45 adalah mereka yang telah benyak berbuat pada zaman Jepang.
Ciri-ciri intrinsic karya sastra angkatan 45 antara
lain:
Puisi-puisinya bebas, artinya puisi tersebut
sudah tidak terikat pada tema, rima, dan irama.
Gaya puisinya brsifat ekspresinisme, artinya
mengekspresikan apa yang ada dalam pikirannya.
Aliran dan gayanya yaitu realism, pengungkapannya
berdasarkan kenyataan yang benar-benar terjadi.
Diksi katanya mencerminkan pengalaman batin.
Kosa katanya mempergunakan gaya bahasa
sehari-hari.
Menggunakan gaya ironi dan sinisme.
Ciri-ciri ekstrinsik karya sastra angkatan 45
antara lain:
Individualisme ditonjolkan.
Bersifat universalistik sesuai dengan konsepsi
humanisme universal yamg digunakan.
Bersifat futuristic yakni selalu mengacu kepada
masa depan.
• PERIODE 1953-1961
Dalam pembabakan ini digunakan istilah “periode”
dan bukan “angkatan “ karena “angkatan “ dlam bahasa Indonesia sekarang telah
menimbulkan berbbagai kekacauan. Pada periode ini terjadi krisis sastra sebagai
akibat dari gagalnya revolusi Indonesia. Menurut Soejatmoko, Krisis sastra
timbul sebagai akibat dari krisis kepemimpinan. Ia lebih lanjut mengatak bahwa
sastra Indonesia sedang mengalami krisis sastra karena yang sedang ditulis
hanya cerpen-cerpen kecil yang melingkar sekitar psikologisme perseorang
semata. Roman-roman besar tak ada ditulis. Sedangkan menurut Nugroho Noto
Susanto,S.M menolak penamaan tersebut karena menurutnya sastra Indonesia sedang
hidup dengan subur.
Beberapa sastrawan yang muncul pada periode ini
antara lain Nugroho Noto Susanto, A.A.Navis, toto Sudarto Bachtiar, W.S.Rendra
dan lain-lain. Penyair yang paling popular pada periode ini antara lain Toto
Sudarto Bachtiar dan W.S.Rendra. hanya saja W.S.Rendra lebiih popular dari Toto
Sudarto Bachtiar dikarenan W.S.Rendra tidak hanya sebai penyai melainkan juga
sebagai dramawan berbakat yang ditandai dengan didirikannya Taman Teater
miliknya.
• PERIODE 1961-1970
Pada peride 50-an suasana berubah. Pada masa
sebelumnya bangsa Indonesia berjuang untuk satu tujuan mencapai kemerdekaan.
Setelah kemerdekaan diperoleh dan pepereangan telah berakhir, pemimpin-pemimpin
mulai melihat pada diri mereka masing-masing. Mereka mulai berperang untuk
golongan partai bahkan untuk diri mereka sendiri.
Perkembangan sastra pada periode ini tidak
menampakkan peningkatan daripada masa lalu. Roman-roman lama tidak ada yang
terbit sehingga timbul penamaan sastra majalah. Sejalan dengan kehidupan
masyarakat dalam kehidupan sastra timbullah dua aliran yang bertentangan,
antara paham realism sosialis yang menjadi filsafat seni kaum komunis, dengan
golongan sastrawan yang berpaham humanism universal.
![]() |
int |
Pada tahun 1950 Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat)
berdiri. Lekra dengan tegas menganut seni untuk rakyat yang menghantam
sastrawan yang beraliran seni untuk seni. Keadaan politik makin lama makin
tidak sesuai bagi kegiatan sastra yang bebas. Kedudukan Lekra pun makin kuat.
Mereka memaksakan agar ada keseragaman dalam berkarya yang sesuai dengan paham
mereka.maka pada tanggal 17 Agustus 1963, H.B> Jassin mengumumkan Manifes
Kebudayaan dalam majalah sastra. Manifesto tersebut merupakan suatu dokumen
yang amat hati-hati yang didalamnya Pancasila ternyata diakui sebagai falsafah
kebudayaan Indonesia. Manifesto sebenarnya memiliki hubungan yang erat dengan
Surat Kepercayaan Gelanggang. Keduanya sama-sama mengeluarkan prinsip kesenian
yang berlandaskan humanisme universal.
• PERIODE KONTEMPORER (ANGKATAN 70-AN)
Sastra Kontemporer juga biasa disebut sastra
mutakhir, lahir pada tahun 70-an sehingga periode 70-an ini pernah diusulkan
untuk diberi nama angkatan 70-an. Penamaan tersebut muncul sejak Sutardji
Calzoum Bachri menolak kata sebagai tumpuan ide. Kredo puisi merupakan
keyakinan Sutardji Calzoum Bachri yamg dituangkan dalam puisi.
Ciri-ciri Sastra Kontemporer khususnya bidang puisi
antara lain:
Puisi yang menolak kata sebagai media ekspresi
Puisi yang bertumpu pada symbol-simbol kata dan
menampilkan seminimal mungkin kata sebagai intinya.
Puisi yang bebas memasukkan unsur-unsur bahasa
asing atau bahasa daerah, dalam kumpulan Bangsat yang berjudul Main Cinta Model
Kawang Wung.
Puisi yang memakai kata-kata supra, kata-kata
konvensional yang dijungkirbalikkan dan belum dikenal masyarakat umum, bentuk
kebatinan judul Puisi jaman Bahari Gerisa.
Puisi yang menggambarkan tipografi secara cermat,
sebagai bagian dari ekspresi dalam kumpulan O.
Puisi berpijak pada bahasa konvensional, tetapi
diberi tenaga baru dengan cara menciptakan idiom-idom baru. Dalam karya
Sutardji kumpula O yang berjudul jadi.
Puisi yang memotong-motong kata menjadi suku kata
dan membalikkan suku kata tersebut. (Sutardji Calzoum Bachri) dalam Tragedi
Winka dan Sihka.
Tokoh-tokoh yang berkecimpung dalam bentuk puisi
ini antara lain Sutardji calzoum Bachri, Jeihan, Darmanto JT, Sides Sudarto,
Ibrahim Sattah.