Ilustrasi |
Manusia yang beradab merupakan salah satu pilar bangunan bangsa Indonesia. Manusia yang beragama, manusia taat hukum, manusia berkarakter, manusia berkepribadian, manusia berakhlaq, dan manusia yang menjunjung nilai-nilai yang baik. Kita semua sungguh merindukan warga dan bangsa yang beradab. Kita bangsa Indonesia memang sudah tidak lagi masuk bangsa yang tidak beradab, namun kita juga belum masuk bangsa beradab. Kita sedang berproses menuju bangsa beradab dan berperadaban tinggi.
Kita bangsa merdeka memang tidak mau dan menolak sebagai bangsa tidak beradab. Namun dalam faktanya bahwa kita belum berhasil memperlihatkan ke bangsa lain sebagai bangsa beradab. Buktinya bahwa harga diri kita sebagaimana bangsa belum mampu menjaga eksistensi kita, nyawa kita. Sekalipun satu jiwa yang melayang tidak boleh terjadi tanpa ada alasan yang jelas. Mengapa hal ini terjadi, menurut hemat saya ada beberapa faktor penyebab.
Pertama, belum bisa ambil kebaikan dari perbedaan. Bahwa fitrah manusia itu unik, sehingga beragamnya suku di Indonesia merupakan sunnatullah, yang harus disikapi secara bijak. Kita ingat sabda Rasulullah, bahwa perbedaan (apapun) di antara ummatku adalah rahmat, karunia. Kita harus terampil mengelola perbedaan, karena perbedaan itu sumber utama konflik. Kita harus bersyukur terhadap adanya perbedaan, karena di balik perbedaan itu ada potensi kekuatan yang bisa disinergikan untuk menuju sukses dan keunggulan. Kini yang diunggulkan bukan lagi individual intelligence, tetapi collective intelligence. Sekarang bagaiman mensinergikan kekuatan untuk menghadapi masalah kompleks. Jika kita mampu tampilkan perilaku secara kolaboratif dan sinergis, maka secara tidak langsung kita mantapkan peradaban kita.
Kedua, kurangnya respek terhadap orang lain. Ada perangai bangsa kita yang kurang positif. Tidak biasa ucapkan terima kasih ke orang lain. Tidak biasa ucapkan maaf kepada orang lain. Tidak biasa antri dalam hajat sosial, sehingga tindakan potong kompas dianggap biasa. Tindakan yang kurang positif ini diduga sumber utamanya adalah tiadanya atau kurang budaya respek di tengah-tengah masyarakat. Tentu orang-orang yang berusaha memperbaiki perilaku yang kurang terpuji ini berangsur meningkat. Saatnya kita sekarang munculkan gerakan perilaku terpuji kita terhadap orang lain dengan bertumpu pada keteladanan Rasulullah saw, melalui haditsnya, “Man lam yarham laa yurham”, yang artinya “Barang siapa yang tidak mengayangi, maka tidak disayangi” (HR Muslim). Jika kita bisa dengan ikhlas respek terhadap sesama, maka peradaban kita diam2 membaik.
Ketiga, perilaku mengejek orang lain, yang kini sering disebut hoax relatif mendominasi perilaku masa. Perilaku ini berpotensi besar untuk timbulkan konflik dan pertikaian. Padahal mengolok-olok sudah diingatkan oleh Allah swt, dalam QS Al Hujurat:13, yang intinya bahwa kita tidak boleh mengolok-look, karena boleh jadi, yang diolok-olok lebih baik daripada yang mengolok-olok. Perilaku seperti ini bisa berakibat pada pertikaian bahkan pembunuhan. Biaya sosial yang sangat tinggi. Sebagai insan yang berpikir jernih dan memiliki hati bersih, tentu tidak mudah berinisiasi bahkan menprovokasi tindakan yang tak terpuji ini. Semoga perilaku menghargai dan memuji orang lain terus bisa ditumbuhkembangkan, sehingga bangsa kita semakin berperadaban.
Keempat, masih dijumpai cukup banyak orang yang kurang smart memiliki kekuasaan, baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Akibatnya kebijakan dan program tidak menyentuh kepada kepentingan publik. Bahkan penegakan keadilan terabaikan. Kondisi ini yang membuat kehidupan masyarakat menjadi kurang nyaman dan aman. Sudah seharusnya pejabat publik dipegang oleh orang-orang yang memiliki kompetensi, kredibilitas dan integritas yang tinggi, sehingga kehidupan semakin terkendali dan terarah menuju cita-cita bersama dan bangsa. Menjadi bangsa yang berperadaban, yang menempatkan warga dan bangsa Indonesia menjadi lebih terhormat dan bermartabat.
Demikianlah beberapa catatan kecil yang tidak bisa terlepas dari dinamika bangsa. Bahwa persoalan bangsa dewasa ini tidak bisa diabaikan dan harus diselesaikan, bukan dengan kekerasan, melainkan harus dihadapi dengan sikap yang penuh kebijaksanaan (wisdom) yang dilandasi spirit menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, persatuan dan kesatuan bangsa, dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, sehingga kita menjadi bangsa Indonesia yang beradab.
(Rochmat Wahab, Yogyakarta, 27/05/2019, Senin)