Internalisasi Nilai-nilai Pancasila dalam Pendidikan


Ilustrasi (Sumber:google)



Tampaknya kita cenderung sepakat, ketika nama Pancasila dan Soekarno adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Pidato 1 Juni, Sang proklamator yang menghentak tanpa dilanda kecemasan, apalagi digerogoti ketakutan berhasil memenangkan pertarungan dialetika yang cukup genting. Tak kalah pentinganya riuh tepuk tangan berkali-kali terdengar di ruang sidang. Bermodal retorika, lelaki berdarah Blitar itu, menampilkan aksi heroik di momen paling historis menjelang kemerdekaan 1945.

Di Gedung Chuo Sangi In di Jakarta, sidang BPUPKI alias Dokuritsu Junbi Cosakai bersama dengan pemerintah Jepang yang dipimpin oleh Saikoo Sikikan berlangsung mulus. Soekarno dengan mudah memperoleh dukungan penuh untuk menjadikan Pancasila sebagai fondasi utama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) . Meski sempat tarik ulur dengan sejumlah tokoh agama.

Peristiwa itulah yang menandakan menetasnya  teks Pancasila yang tersusun spontanitas dari bibir the founding fathers kita, Soekarno. Teks pidato yang dibaca, mengimplikasikan tentang Indonesia sebagai tanah yang menempatkan semua golongan agar dapat hidup bersama dan produktif. Sebagai rumah besar bangsa, Pancasila diposisikan sebagai modal utama untuk menciptakan manusia-manusia yang memiliki kapabilitas dan kualitas mumpuni. Pancasila harus menjadi napas panjang dalam mengarungi rentetan-rentetan langkah untuk membesarkan Negara ini.

Kala itu, Bung Karno menggenggam optimisme bahwa dalam waktu dekat, akan lahir sebuah negara yang bernama Indonesia. Negara yang dihuni oleh pelbagai makhluk yang beragam agama, suku, tradisi, dan sejarah panjang primordialnya.  Tentu saja, tidak lepas dari ketakutan-ketakutan yang menghantui Bung Karno akan sisi krusial yang diprediksi akan terjadi. Misalnya konflik-konflik horisontal dan kasus-kasus radikalisasi agama, seperti yang menjangkiti saat ini.

Hari ini sampailah kita pada era postmodernisme, zaman persaingan yang sangat dinamis. Acapkali politik, hukum, agama, dan budaya dicampuradukkan dalam satu mangkuk besar. Hingga pada akhirnya, kesemrawutan terjadi di mana-mana. Untuk itulah, diperlukan kerangka strategis yang jelas dalam menghadapi keakutan situasi sosial. Salah satunya dengan menginternalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai nilai luhur bangsa yang harus tetap dijaga marwahnya. Pancasila harus mampu ditanamkan dalam diri untuk Indonesia dalam menyonsong ‘arena’ globalisasi. Sebuah istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh Theodore Levitte pada 1985. Globalisasi merepresentasikan pudarnya batas-batas antarnegara, sehingga potensi persinggungan sangat besar dari perebutan daya saing.

Sejumlah data membuktikan, bahwa daya saing Indonesia dalam tiga tahun terakhir cenderung fluktuatif. Terbukti pada tahun 2015 Indonesia berada pada peringkat 37, lalu di tahun 2016 menurun drastis ke posisi 41. Namun, laporan World Economic Forum (WEF) tahun 2017 kembali memberikan angin segar. Melalui laporan yang bertajuk Global Convetitiveness 2017-2018 Edition, daya saing Indonesia kembali naik peringkat. Setidaknya, satu langkah dibanding posisi yang diperoleh pada tahun 2015. Menurut catatan dari berbagai informasi, faktor yang menyebabkan sulitnya kita mencapai posisi teratas, dikarenakan tingkat korupsi, kekacauan birokrasi, dan kendornya sumber daya manusia (SDM) yang berimplikasi pada stagnanisasi ekonomi Negara.

Berkaca pada paradigma daya saing bangsa (national competitiveness), salah satu yang perlu diperkuat, yaitu ketahanan pondasi pendidikan. Relevansi pendidikan dengan Pancasila merupakan perwujudan dari paripurnanya pembinaan generasi muda yang tergolong masyarakat madani, masyarakat penghuni dunia pendidikan. Pendidikan harus bernapaskan nilai-nilai pancasila, sehingga terbentuk generasi yang adaptif, mandiri, dan tetap mengedepankan kultural.

Pengimplementasian nilai-nilai Pancasila dapat dilakukan dengan berbagai konstruksi yang beririsan terhadap regulasi pendidikan. Pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. Sila ini ditafsirkan sebagai modal awal pembentukan mental dan karakter dalam menjalani pergulatan kehidupan. Selain ketersediaan tenaga pendidik yang mumpuni, juga harus ditunjang dengan tempat beribadah yang menghimpun keberagaman umat demi merawat toleransi.

Kedua, sila kedua terdapat nilai kemanusiaan. Butir-butir yang mengatur tentang penghormatan, kebersamaan membangun, tenggang rasa, dan semangat gotong royong. Terminologi gotong royong merupakan tuntutan yang pertama kali diminta Bung Karno dalam pidatonya tentang Pancasila sebagai penanda kultural, yang disejajarkan dengan nilai ketuhanan.

Ketiga, sila ini mengandung nilai persatuan. Bagian terpenting dari sila ini, tidak lepas dari patriotisme dan nasionalisme. Mengobarkan kebanggaan akan tanah air, mengukukan kesatuan bangsa, dan mengkultuskan rasa rela berkorban. Keempat, sila ini menyonsong nilai kerakyatan. Konsepsi kerakyatan berarti lepas dari sikap egois atau individualis. Determinan yang dimunculkan adanya musyawarah dalam pengambilan keputusan.
Terakhir, kelima yaitu nilai keadilan sosial. Gagasan ini sesungguhnya merujuk pada penghilangan disparitas terhadap sesama. Sekalipun tabrakan-tabrakan kepentingan sosial terkadang mengikisnya. Pranata-pranata sosial harus tetap terjaga demi menghindari kemajemukan. Meropong Indonesia dari bentukan intrepretasi kata makmur dan adil secara lahiriah dan batiniah.


Transformasi pendidikan berbasis pencasila diyakini dapat mengembangan kompetensi manusia Indonesia menghadapi daya saing global, sekalipun harus melewati infleksi dogmatis pengetahuan barat. Pancasila harus selalu diinternalisasikan dalam mengarungi perjalanan pendidikan, sehingga anak-anak bangsa mampu bersaing tanpa harus meninggalkan identitasnya dan kepentingan ideologi bangsa. (*)

Oleh: Asri Ismail