Ilustrasi (Foto: hippwee.com) |
Menautkan literasi dengan ekonomi khususnya akuntansi (yang sekarang dipandang merupakan gugusan disiplin berbeda: literasi bernaung di ruang fakultas budaya dan ekonomi khususnya akuntansi bernaung di ruang fakultas ekonomi) sesungguhnya berarti memulangkan ekonomi khususnya akuntansi ke tanah leluhurnya; atau sebaliknya memulangkan literasi kepada induknya.
Demikian juga menggabungkan atau menyatukan istilah literasi dengan ekonomi khususnya akuntansi menjadi frasa literasi ekonomi atau literasi akuntansi berarti meneguhkan kembali susur galur atau pohon sejarah literasi dan ekonomi khususnya akuntansi. Mengapa demikian?
Dalam sebuah buku tentang sejarah umat manusia, yang mengesankan atau memesona, berjudul A Brief History of Humankind: Sapiens (Penguin Random House Company, 2014), sejarahwan muda dunia Yuval Noah Harari memaparkan bahwa pertama kali aksara tidak ditemukan dan dipakai oleh para pemikir besar, pendiri agama, penakluk dunia dan kaisar, melainkan seorang akuntan di Sumeria bernama Kushim atau Kasim.
Dalam sejarah sistem tulisan yang pertama kali dikembangkan oleh bangsa Sumeria lebih 5000 tahun lampau, ternyata pesan tertulis (baca: aksara) pada mulanya bukan untuk menyampaikan kearifan, keindahan, dan atau keagungan Tuhan dan semesta alam, melainkan untuk mencatat hasil panen dan utang piutang. Hal ini menunjukkan bahwa cikal bakal bahasa tertulis khususnya aksara dilahirkan oleh ekonomi khususnya akuntansi, bukan agama, susastra, dan ilmu pengetahuan, apalagi kekuasaan.
Karena itu, secara tentatif boleh dikatakan bahwa ekonomi khususnya akuntansi merupakan induk literasi; atau boleh juga dikatakan bahwa literasi merupakan induk ekonomi khususnya akuntansi.
Di balik kegiatan mencatat hasil panen dan utang piutang khususnya kegiatan mencatat yang dilakukan oleh Kasim tersebut bersemayam kesadaran akan pentingnya mencatat hasil panen dan utang piutang [dengan menggunakan aksara dan angka] sehingga diperoleh kestabilan, kepastian, dan keawetan catatan hasil panen dan utang-piutang pada satu sisi dan pada sisi lain didapat keterbukaan dan kemudahan orang lain mengetahui catatan hasil panen dan utang-piutang.
Di situ terdapat tiga pokok pikiran penting, yaitu (1) kesadaran, (2) menulis [baca: mencatat], dan (3) membaca [memahami catatan] hasil panen dan utang-piutang. Dari sinilah dapat dikatakan bahwa pada mulanya literasi ekonomi khususnya akuntansi bermakna kesadaran akan informasi ekonomi khususnya akuntansi yang dilandasi oleh tulisan/bacaan yang berisi informasi ekonomi/akuntansi pada satu sisi dan pada sisi lain dilandasi oleh kegiatan [mem]baca-[men]tulis tentang ekonomi/informasi.
Meskipun tak berganti substansi, lambat laun makna atau konsep literasi ekonomi/akuntansi tersebut meluas atau mengembang. Ini seiring dengan perkembangan pemikiran, gagasan, praktik, dan pengkajian literasi (boleh dibaca: teori, praksis, dan studi literasi) pada umumnya dan perkembangan teori dan praksis ekonomi/akuntansi khususnya.
Seturut berbagai konsep literasi yang telah ada, secara ringkas sekarang dapat dikatakan bahwa literasi ekonomi/akuntasi adalah kesadaran radikal (baca: mendasar), kritis, dan atau kreatif tentang informasi-informasi ekonomi/akuntasi, yang disangga oleh tradisi dan kebiasaan membaca dan menulis tentang informasi-informasi ekonomi/akuntasi.
Kesadaran radikal, kritis, dan atau kreatif tentang informasi ekonomi/akuntansi penting dikuasai oleh setiap manusia (bukan hanya para ekonom/akuntan, melainkan juga masyarakat pada umumnya).
Dengan begitu mereka memiliki pilihan-pilihan dan peluang-peluang yang sesuai dengan hati nurani atau jalan hidup mereka dan arah hidup yang mereka tuju; tidak terombang-ambing sebagai objek ekonomi/akuntansi atau bahkan sasaran pasar yang makin liar dan komoditas ekonomi/akuntansi yang tidak mereka kehendaki.
Dengan literasi ekonomi kita tidak tergulung oleh tsunami ekonomi libidinal yang terus-menerus merayu keinginan kita.
Penulis: Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd.
(Guru Besar Fakultas Sastra UM)