Pendidikan Guru yang "Powerful"

Seorang guru sedang membimbing siswanya (foto:int)
Siswa bermutu salah satunya disebabkan oleh sekolah bermutu. Sekolah bermutu lebih banyak ditentukan oleh guru bermutu. Guru bermutu ternyata secara mitos, cenderung  lebih banyak dilahirkan, daripada dibuat. Artinya bahwa kehadiran pendidikan guru memiliki posisi strategia dalam menghasilkan guru-guru baru yang berdedikasi dan bermutu.

Semua siswa dengan segala keragamannya harus tumbuh dan berkembang secara natural, tidak boleh dipaksakan dan direkayasa. Mereka harus diasuh, di Didik, diajar dan dilatih secara humanis dan edukatif. Mereka harus dilatano sebagai subjek  bukan sebagai objek. Mereka akan bisa tumbuh dan berkembang secara optimal, jika dididik oleh guru profesional.  Darling-Hammond (2006) menyatukan bahwa “The Child teacher can make a bigger difference to his or her educational success than most other school variables”. Guru-guru profesional cenderung lebih banyak dihadirkan oleh institusi pendidikan guru yang bereputasi.

Karena itulah pendidikan guru yang powerful (PGP) sangatlah penting. Telah terbukti bahwa “fully prepared and certified teachers are generally better rated and more successful with students”. Selanjunya juga dijelaskan bahwa guru baru yang keluaran PGP lebih efektif daripada yang bukan lulusan PGP. Mengapa demikian, karena lulusan PGP di saat kuliahnya mendapatkan program penyiapan guru dan sejumlah mata kuliah kependidikan yang terkait.

Persoalan besar terkait dengan penyiapan guru baru adalah soal praktek. PGP harus benar-benar mampu menyiapkan program mengenali persoalan terkait dengan mengajar dan mendidik yang efektif.

Mahasiswa PGP tidak hanya mengenali persoalannya saja melainkan juga mendiskusikan alternatif solusi terhadap masalah yang dihadapi. Apalagi yang dihadapi siswa tidak hanya aspek akademik saja, melainkan juga aspek keterampilan, moral, dan literasi digital dan literasi manusia.

PGP juga menghadapi tiga persoalan penting. Pertama, persoalan magang. Kurikulum pendidikan guru dulu, masih dimungkinkan ada program magang yang diharapkan dapat pengalaman lapangan yang cukup, kini hanya pengenalan selintas dan dilanjutkan dengan pendidikan profesi yang praktek mengajarnya pada semester kedua. Bisa dibayangkan pendidikan profesi bagi mahasiswa lulusan non kependidikan yang kurang mengenali lapangan.

Kedua, persoalan perundang-undangan tentang profesi pendidik lebih bersifat teorikal. Padahal persoalan tugas profesional mendidik sangat beda tuntutannya di lapangan.

Dalam praktekya, guru tidak hanya memahami individu belajar dan strategi yang baik untuk mengajar, melainkan guru harus cakap berkomunikasi yang efektif, cara presentasi yang jelas dan komunikatif, mengarahkan diskusi, mengelola wacana untuk dipelajari, mengorganisasikan kelompok dalam belajar dan memberikan tugas yang tepat dan sebagainya.

Ketiga, masalah kompleks yang terutama terkait dengan peristiwa pembelajaran riel yang terjadi melibatkan siswa, guru, dan mata pelajaran, yang dalam proses pembelajaran terjadi liar dan sangat kontekstual. Situasi pembelajaran berubah secara terus menerus sesuai dengan situasi dan kondisinya. Di sini sangat dibutuhkan kreativitas guru yang dapat menjadikan pembelajaran efektif.

PGP memiliki posisi strategis bila ingin menghasilkan guru baru di era millennial ini. PGP harus mampu memilih strategi, merumuskan tujuan, mendisain kurikulum, menfasilitasi proses pembelajaran, dan mengelola praktek mengajar.

Kini PGP sangat dituntut untuk bisa menyiapkan guru muda yang mampu meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi, menginternalisasikan pendidikan karakter, menanamkan spirit enterpreneurship, dan kecakapan digital serta inovasi serta kecakapan memberikan layanan pendidikan untuk semua secara inklusif. PGP sendiri harus mampu menghasilkan berbagai riset yang mendukung untuk hadirkan innovasi pendidikan dan pembelajaran, sehingga hasilnya matching dengan kebutuhan di lapangan.

Untuk mewujudkan PGP tidaklah mudah. Di samping political will pemerintah untuk terus mengawal sistem pengelolan pendidikan, juga perlu didukung oleh kepemimpinan birokrasi pendidikan, di samping kepemimpinan PGP yang perlu tonjolkan dengan kepemimpinan akademiknya. Juga menjadikan kampus PGP dan sekolah praktek menjadi laboratorium sosial dan akademik, sehingga mampu menciptakan ekologi pendidikan yang supporting bagi keberhasilan mahasiswa calon guru.

Penulis: Prof Dr Rochmat Wahab

(Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Periode 2009-2017, anggota Mustasyar PW Nahdlatul Ulama (NU) DIY, Pengurus ICMI Pusat)