![]() |
Ilustrasi (Sumber: Google) |
Pembangunan
ekonomi nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan
makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945 (selanjutnya disebut dengan UUD 1945) harus dapat memenuhi segala
keperluan dari masyarakat. Guna mencapai tujuan tersebut, maka pelaksanaan pembangunan
ekonomi harus lebih memperhatikan asas keserasian, keselarasan dan keseimbangan
pada setiap unsur-unsur pembangunan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta
terciptanya stabilitas ekonomi dan stabilitas nasional.
Kehidupan ekonomi modern tidak dapat lepas begitu saja dari aspek dan tujuan pemberian kredit sebagai upaya riil untuk mengangkat aspek pertumbuhan modal dan investasi dunia usaha dikalangan para pengusaha sebagai pelaku usaha atau pelaku bisnis.
Dalam kondisi perekonomian yang sedang mengalami kelesuan
seperti saat ini, karena sektor riil yang tidak bertumbuh, maka sangat dibutuhkan
adanya suntikan dana fresh money baik dari pihak pemerintah baik melalui
Lembaga Keuangan Bank (selanjutnya disingkat menjadi LKB) ataupun Lembaga Keuangan
Bukan Bank (selanjutnya disingkat menjadi LKBB) kepada para pengusaha sebagai
pelaku usaha dan pelaku bisnis yang memanfaatkan dana tersebut sebagai modal
kerja untuk meningkatkan prifibilitas perusahaan.
Perbankan adalah salah satu sumber dana
bagi masyarakat perorangan atau badan usaha untuk memenuhi kebutuhan
konsumsinya seperti kebutuhan untuk membeli rumah, mobil atau motor ataupun
untuk meningkatkan produksi usahanya mengingat modal yang dimiliki perusahaaan
ataupun perorangan tidak cukup untuk mendukung peningkatan usahanya.
Usaha
perbankan sebagaimana diketahui bukanlah badan usaha biasa seperti halnya
perusahaan yang bergerak dibidang perdagangan dan jasa, melainkan suatu badan
usaha yang bergerak di bidang jasa keuangan. Bank mempunyai kegiatan usaha
khusus seperti yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya
disebut Undang- Undang Perbankan), Yaitu:
a. Menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa Giro, Deposito berjangka,
Deposito, Tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
b.
Memberikan
kredit.
Perbankan dalam memberikan kredit harus
benar-benar teliti, sebab dalam hal ini perbankan memberikan kepercayaan kepada
debitor untuk mengembalikan uang yang diterima bank dari orang-orang yang percaya
kepada bank dengan menyimpan uangnya di bank sehingga pihak bank dalam
memberikan kredit harus melakukan pemeriksaan terhadap calon debitornya.
Kredit bagi suatu bank merupakan aset bank yang diberikan
kepada masyarakat. Keberadaan kredit
merupakan pendapatan terbesar bagi bank, bila dibandingkan dengan sumber
pendapatan lain. Pendapatan ini diperoleh dari selisih antara bunga simpanan
dan bunga pinjaman atau dikenal dengan nama spread.
Selain pendapatan tersebut, dengan diberikannya kredit oleh bank kepada masyarakat, bank juga akan
mendapat pendapatan lain seperti provisi kredit dan pendapatan administrasi
kredit, olehnya itu pengelola kredit sangatlah penting bagi industri perbankan.
Karena apabila salah mengelola kredit maka hal ini akan berdampak terhadap
pendapatan bank, sekaligus dapat menurunkan image bank dimata masyarakat.
Kredit
dari segi ekonomi berarti suatu kegiatan memberikan nilai ekonomi yang sama
akan dikembalikan kepada kreditor (bank) setelah jangka waktu tertentu sesuai
kesepakatan yang telah disetujui kreditor (bank) dengan debitor. Sebagai
keuntungan bagi pihak kreditor karena telah memberikan nilai ekonomi tersebut, maka
kreditor (bank) menerima pembayaran bunga dari debitor.
Perbankan
dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan kredit memperoleh sumber dana dari
masyarakat, sehingga sumber dana perbankan yang disalurkan kepada masyarakat
dalam bentuk kredit tersebut bukan dana milik bank sendiri, namun dana yang
berasal dari masyarakat. Hal ini menyebabkan perbankan dalam melakukan
penyaluran kredit harus melakukannya
dengan prinsip kehati-hatian melalui analisis yang akurat dan mendalam, penyaluran
kredit yang tepat dan pengawasan kredit yang ketat, serta perjanjian kredit
yang sah menurut hukum pengikatan jaminan yang kuat dan administratif
perkreditan yang teratur dan lengkap. Semua tindakan tersebut semata-mata
bertujuan agar kredit yang disalurkan oleh pihak bank kepada masyarakat dapat
kembali tepat waktu dan sesuai dengan perjanjian kreditnya.
Analisis
dilakukan perbankan untuk mengetahui dan menentukan apakah seseorang itu layak
atau tidak untuk memperoleh kredit. Pada umumnya pihak perbankan menggunakan
instrumen analisis yang dikenal dengan the five of credit atau the 5 C,
yaitu:
1)
character (kepribdian) yaitu penilaian atas
karakter atau watak dari calon debitornya.
2)
capacity (kemampuan) yaitu prediksi tentang
kemampuan bisnis dan kinerja bisnis debitor untuk melunasi hutangnya.
3)
capital (modal) yaitu penilaian kemampuan
keuangan debitor yang mempunyai korelassi langsung dengan tingkat kemampuan
bayar kreditor.
4)
condition of economy (kondisi
ekonomi) yaitu analisis terhadap kondisi perekonomian debitor seccara mikro
maupun makro, dan
5)
collateral (agunan) yaitu harta kekayaan debitor sebagai
jaminan bagi pelunasan hutangnya jika kredit dalam keadaan macet.
Kredit
yang dianalisa dengan prinsip kehati-hatian akan menempatkan kredit pada
kualitas kredit yang performing loan sehingga dapat memberikan
pendapatan yang besar bagi pihak bank. Pendapatan tersebut diperoleh dari
besarnya selisih antara biaya dana dengan pendapatan bunga yang dibayar para
pemohon kredit sehingga untuk mencapai keuntungan tersebut maka sejak awal
permohonan kredit harus dilakukan analisis yang akurat dan mendalam oleh
pejabat yang bekerja pada unit/bagian kreedit.
Kegiatan
perkreditan adalah risk asset bagi bank karena asset bank dikuasai oleh
pihak luar bank, yaitu para debitor, akan tetapi kredit yang diberikan kepada
para debitor selalu ada risiko berupa kredit tidak kembali tepat pada waktunya
yang dinamakan kredit bermasalah. Banyak terjadi kredit yang diberikan menjadi
bermasalah yang disebabkan berbagai alasan, misalnya usaha yang dibiayai dengan
kredit mengalami kebangkrutan atau merusut omset penjualannya. Krisis ekonomi,
kalah bersaing ataupun kesengajaan debitor melakukan penyimpangan dalam
penggunaan kredit seperti untuk membiayai usaha yang tidak jelas masa depannya,
sehingga mengakibatkan sumber pendapatan usaha tidak mampu untuk mengembangkan
usahanya dan akhirnya mematikan usaha debitor.
Kondisi
dimana kredit yang telah disalurkan bank kepada masyarakat dalam jumlah besar
ternyata tidak dibayar kembali kepada pihak bank oleh debitor tepat pada
waktunya sesuai perjanjian kreditnya yang meliputi; pinjaman pokok dan bunga
menyebabkan kredit dapat digolongkan menjadi non perfoming loan (
selanjutnya disingkat menjadi NPL) atau kredit bermasalah. Banyaknya NPL akan
berakibat pada terganggunya likuiditas bank yang bersangkutan. Dengan adanya
kredit bermasalah maka bank tengah menghadapi resiko usaha bank jenis resiko
kredit (default risk) yaitu resiko akibat ketidakmampuan nasabah debitor
mengembalikan pinjaman yang diterimanya dari bank beserta bunganya sesuai
dengan jangka waktu yang telah ditentukan.
Seperti
sudah disebut sebelumnya bahwa dengan adanya kredit bermasalah, bank tengah
menghadapi default risk. Kredit bermasalah selalu ada dalam kegiatan
perkreditan bank, karena bank tidak mungkin menghindari adanya kredit
bermasalah, bank hanya berusaha menekan seminimal mungkin besarnya kredit
bermasalah agar tidak melebihi ketentuan Bank Indonesia sebagai pengawas
perbankan.
Pihak bank dalam menyelesaikan/ menyelamatkan kredit bermasalah akan melihat terlebih dahulu kondisi kredit yang bermaslah tersebut. Penyelesaian kredit macet yang dilakukan oleh bank itu sendiri terdiri atas dua alternatif penyelesaian yaitu:
1. Penyelesaian melalui jalur litigasi
Penyelesaian melalui jalur litigasi yaitu penyelesaian yang dilakukan terhadap debitor yang usahanya masih berjalan, yaitu debitor tidak mau melunasi kewajiban melunasi kreditnya atau hutangnya baik angsuran pokok maupun bunganya, sedangkan bagi debitor yang usahanya tidak lagi berjalan adalah debitor yang tidak dapat bekerja sama dan tidak mau memenuhi kewajiban melunasi kreditnya.
2. Penyelesaian melalui jalur non litigasi
Pada taraf penyelesaian ini usaha debitor yang dimodali dengan kredit itu masih berjalan meskipun angsuran kreditnya tersendat-sendat atau meskipun kemampuannya telah melemah dan tidak dapat membayar angsurannya ia masih harus membayar bunganya.
Bahkan debitor yang usahanya sudah tidak berjalan, penyelesaian kreditnya masih dapat dilakukan melalui upaya negoisasi seorang debitor yang jaminan kreditnya mencukupi serta masih ada usaha lain yang dianggap layak dan kepadanya masih dimungkinkan diberi suntikan dana sehingga diharapkan akan mempunyai hasil untuk digunakan membayar seluruh kewajibannya, artinya dengan kesepakatan baru, kredit macetnya akan menjadi kredit yang lancar. (*)