Ilustrasi (Foto: Int) |
Ada yang bilang, sesuatu disebut benar jika klop dengan faktanya. Sementara fakta sendiri juga punya masalah dengan kepentingan sehingga bisa dikaburkan.
Ketika seorang pria diberitakan terciduk sedang berduaan dengan seorang wanita di sebuah hotel, mungkin faktanya benar, cuma salahnya mungkin ada fakta lain yang disembunyikan sehingga bisa membuat persepai salah banyak orang. Ternyata wanita itu ibunya, misalnya. Bagi pembuat berita, tidak jadi soal kalau akhirnya fakta yang lain suatu saat terungkap, yang penting untuk sementara dia sudah berhasil membentuk persepsi banyak orang untuk kepentingan tertentu. Banyak orang yang begitu kekeuh dengan kebenaran versinya sendiri, tanpa mau bergeser sedikitpun mengubah sudut pandangnya.
Betapa kebenaran itu sangat rentan oleh kepentingan atau perkembangan ilmu pengetahuan. Kita pernah menyaksikan kebenaran sejarah masa lalu yang terkoreksi oleh fakta baru yang terungkap di kemudian hari. Karena sejarah ditulis oleh penguasa pada zamannya dengan kepentingan tertentu. Kita juga pernah mempelajari kebenaran masa lalu tentang fenomena geosentris yang kemudian tumbang oleh teori heliosentris. Atau teori bumi bulat yang sedang diwacanakan lain oleh teori flat earth, dst.
Kebenaran juga terkadang berbeda tergantung dari mana perspektif kita. Harga cabai sedang mahal, mungkin dimaknai sebagai kondisi yang tidak benar oleh rakyat kebanyakan, tetapi dari perspektif petani cabai, ini sebuah berkah. Namun hati-hati memaknai kebenaran dalam posisi ini, karena bisa dimanfaatkan oleh orang tidak baik untuk membenarkan kesalahan yang dilakukan, dengan argumen bahwa inilah kebenaran menurut sudut pandang saya.
Kebenaran kadang hanya sebuah kesepakatan bersama. Kebenaran dan alat ukur kebenaran terus bergeser, apa yang dulu benar, belum tentu tetap benar hari ini. Pelajarannya adalah, jangan merasa aman melakukan kesalahan masa lalu dengan alasan tidak ada yang menyalahkan.
Tentu yang terakhir, ada jenis kebenaran hakiki, kebenaran yang benar-benar benar, bersumber dari Sang Pencipta, yang selayaknya kita wajib meyakini kebenarannya.
Akhirnya, kita mesti lebih cermat untuk mewaspadai bahwa sebuah kebenaran tidak sama artinya dengan pembenaran.(*)
Penulis: Agus Susilohadi
-Pencetus program SM-3T dan
-Kabag Penganggaran dan Penganggaran Direktorat Jenderal Sumber Daya IPTEK Dikti Kemenristekdikti