Ilustrasi (Foto: Int) |
Seiring perkembangan zaman, khususnya proses pembangunan yang kurang berpihak pada desa dan sektor pertanian, desa tidak menjadi simbol kemajuan dan kemandirian. Desa tidak menjadi kebanggaan untuk kembangkan potensi. Sebaliknya dunia industri dan kota menjadi daya tarik bagi masyarakat desa, khususnya kawula muda untuk mengadu nasib dan aktualisasi diri.
Konsekuensinya jarang anak muda yang tertarik bertani dan atau beternak. Selain penghasilannya terbatas juga kurang bergengsi. Mereka lebih suka bekerja di sektor industri atau informal yang ada di kota yaitu lapangan kerja yang lebih mendatangkan penghasilan lebih besar.
Arus urbanisasi tersebut menyebabkan banyak desa desa yang kekurangan tenaga kerja. Banyak pemuda desa yang enggan jadi petani. Produktivitas desa menjadi menurun. Produk pertanian dan peternakan makin tidak mencukupi kebutuhan konsumsi nasional.
Kondisi tersebut makin dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk impor segala kebutuhan pangan (beras, kedelai, jagung, daging sampai gatam). Ketergantungan pangan terhadap luar negeri yang selama ini dilakukan melalui mekanisme impor dianggap biasa. Kedaulatan (saya kurang suka gunakan istilah ketahanan) pangan makin sulit digapai.
Kondisi sekarang, dengan adanya wabah Covid-19 membuat suasana jadi serba sulit. Impor sulit dilaksanakan karena beberapa negara membatasi alur transportasi dan distribusi manusia dan barang. Bila dilaksanakan tentu beaya akan menjadi lebih mahal lagi. Pertumbuhan ekonomi nasional menjadi terancam.
Sementara itu sebagian besar desa yang ada belum mandiri, walaupun sejak satu dasawarsa terakhir banyak anak anak muda yang cerdas, kreatif dan inovatif telah merintis kemandirian desa. Mereka berusaha kembangkan potensi desa dengan pendekatan yang lebih modern sehingga produktifitas barang dan jasa meningkat. Namun, kekurangan tenaga kerja masih sering menjadi masalah klasik.
Untuk itulah dengan menurunnya dan atau runtuhnya pekerjaan di sektor informal yang ada di perkotaan perlu disikapi secara cerdas dan manusiawi.
Meminta mereka tetap tinggal di rumah sementara pekerjaan dan penghasilan tidak ada tentu membutuhkan penanganan yang lebih kompleks. Mereka tidak hanya membutuhkan bantuan riil untuk memenuhi kebutuhan sehari hari. Mereka juga butuh pendampingan yang tidak hanya sekedar mengurangi kebutuhan sosial tetapi juga keyakinan masa depan.
Untuk itulah kebijakan pulang kampung secara selektif patut dipertimbangkan. Mereka yang ada di perkotaan dan ingin kembali ke desa asalnya diperbolehkan selama yang bersangkutan dalam kondisi sehat dan tidak terpapar virus Corona alias Covid-19.
Mereka dicek kesehatannya dan difasilitasi transportasi secara ketat oleh pihak pemerintah (termasuk antar pemda) dari daerah asal yang berkoordinasi dengan daerah tujuannya. Dan sebelum berbaur dengan keluarganya tetap dikarantina dalam rentang waktu tertentu.
Kebijakan ini dapat mengurangi beban sosial ekonomi daerah asal pada satu sisi. Di sisi lain dapat meningkatkan jumlah tenaga kerja di desa sehingga produktifitas desa jadi lebih meningkat. Produktivitas desa yang meningkat dapat meminimalisir ketergantungan pangan dari luar negeri. Di samping sektor pertanian tersebut juga dapat memenuhi konsumsi publik, minimal dalam pemenuhan kebutuhan pokok sehari hari.
Untuk itu edukasi dari pelbagai pihak (pemerintah, tokoh agama dan tokoh masyarakat) tentang penyebaran virus Corona perlu dilakukan secara cerdas dan bijak. Tidak semua orang yang berasal dari luar daerah itu membawa virus. Bagi mereka yang sehat (setelah melalui pemeriksaan yang ketat dan terstandar) justru dapat dijadikan bagian tenaga kerja yang produktif di desa. Desa menjadi lebih produktif dan kebutuhan pangan makin relatif tercukupi.
Dan yang tidak kalah pentingnya, nilai nilai gotong royong yang masih berkembang di banyak desa dapat dirawat dan memberikan inspirasi bagi bangsa Indonesia untuk terus menggelorakan jiwa gotong royong dalam membangun kedaulatan bangsanya. (*)
Penulis: Prof. Dr.Hariyono (Guru Besar Universitas Negeri Malang)