![]() |
Foto: Jean Paul Sartre |
Jean Paul Sartre lahir di Paris, Prancis pada tanggal 21 Juni 1905. Ia berasal dari keluarga kelas menengah, ayahnya penganut Khatolik dan ibunya penganut Protestan. Ia menjadi yatim sejak umur dua tahun dan diasuh oleh ibu serta kakeknya Charles Schweitzer. Sejak kecil, secara fisik Sartre merupakan anak yang lemah tetapi berotak cemerlang, memiliki semangat belajar yang tinggi, senang berkompletasi dan berkhayal.
Sayangnya, Sartre segan bergaul dengan teman- temannya karena sering memperlakukannya dengan kekerasan. Dengan menyendiri, dia menghabiskan waktunya untuk membaca dan membaca. Sartre menjadi mahasiswa di l’Ecole Normale Superieure dan memperoleh ijazah di bidang filsafat pada tahun 1929 kemudian mengajar di Havre, Laon, dan terakhir di Paris pada tahun 1945. Sebelumnya, Sartre pernah berkesempatan memperdalam ilmu fenomenologi Husserl di Intitut Prancis, Berlin. Oleh karena itu, ia banyak menulis artikel dan buku fonemenologi dalam arti realistis atau sarana mengungkapkan realitas dan pengalaman yang konkret, baik di bidang psikologi terkait dengan masalah fantasi dan emosi.
Ketika Perang Dunia II pecah, ia masuk di kententaraan dan bertugas di dinas meterologi. Pada tahun 1940-1941, Sartre ditahan oleh tentara Jerman sebagai tahanan perang pada waktu itu dan dia sempat menulis dan menyutradarai sebuah drama yang menyindir pendudukan Jerman atas Prancis. Ketika Perang Dunia II yang melibatkan dua kekuatan besar dunia (blok barat dan blok timur) sedang berlangsung, Sartre menerbitkan karya filsafat yang berjudul L’etre et le Neant. Essai d’ontologis Phenomenologique atau Essai Ada dan Tiada/suatu ontologi fenomenologis.
Dengan buku inilah, Sartre menjadi seorang filsuf ternama dan segara dianggap sebagai salah seorang pemimpin gerakan filosofis di bidang “Eksistensialisme”.
Eksistensialisme diartikan secara etimologi berasal dari kata eksistensi yang dalam bahasa Latin adalah existere (ex: keluar, dan sistere: tampil, muncul) yang berarti ada, muncul, atau memiliki keberadaan aktual). Sedangkan secara terminologi ialah aliran filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal kepada eksistensi, atau tentang adanya sesuatu, akan tetapi eksistensi di sini tidaklah cukup jika hanya diartikan dengan ada, mengada, atau berada, karena ungkapan eksistensi ini mempunyai arti yang lebih khusus, yaitu cara manusia berada di dalam dunia, di mana cara berada manusia berbeda dengan cara berada benda-benda.
Benda-benda tidak sadar akan keberadaannya, dan benda-benda yang berdampingan pun berada tanpa ada hubungan, dalam arti tidak saling berinteraksi. Manusia tidaklah demikian, manusia menyadari keberadaannya dan karena manusialah benda- benda menjadi bermakna. Dari kedua cara berada yang berbeda tersebut, filsafat eksistensialisme menegaskan bahwa untuk benda-benda disebut “berada”, sedangkan manusia disebut “bereksistensi”.
Sartre dengan paham filsafatnya “Eksistensialisme” menekankan bahwa dia adalah filosof yang atheis dan itu dinyatakannya secara terang-terangan yang menganggap bahwa Tuhan tidak ada. Oleh karena itu, konsepnya tentang manusia ialah bukan ciptaan Tuhan. Eksistensi manusia menunjukkan kesadaran manusia, terutama pada dirinya sendiri bahwa dia berhadapan dengan dunia. Dari konsep ini muncullah ciri lain hakikat keberadaan manusia.
Orang eksistensialis berpendapat bahwa salah satu watak keberadaan manusia ialah takut.26 Takut itu datang dari kesadaran manusia tentang wujudnya di dunia. Sartre menyatakan, bila manusia menyadari dirinya berhadapan dengan sesuatu, menyadari dia telah memilih untuk berada, pada waktu itu juga dia telah bertanggung jawab untuk memutuskan bagi dirinya sendiri dan bagi keseluruhan manusia dan pada saat itu pula manusia merasa tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab menyeluruh. Pemikiran filsafat eksistensialisme Sartre adalah La Liberte atau kemerdekaan manusia.
Manusia itu bebas, merdeka. Oleh karena itu, dia harus bebas menentukan dan memutuskan. Dalam menentukan dan memutuskan, dia bertindak sendirian tanpa orang lain yang menolong atau bersamanya. Manusia memiliki kebebasan sepenuhnya, sebab tanpa kebebasan tidak mungkin manusia membuat rancangan bagi eksistensinya serta berusaha memberi wujud pada apa yang dirancangnya bagi dirinya.
Atau dapat disimpulkan bahwa pandangan eksistensi Sartre adalah yaitu manusia dapat berkembang sebebas-bebasnya tanpa perlu takut, terikat atau bertanggung jawab terhadap apapun itu.
Selama masa hidupnya, setelah berhenti menjadi dosen, ia mendirikan majalah-majalah baru menulis tentang kejadian politik dan kultural yang di dalamnya tidak terlepas dari filsafat eksistensialiame. Sartre juga menulis beberapa novel hingga dipilih menjadi pemenang Hadiah Nobel Kesustraan tetapi ditolaknya dengan alasan akan mengurangi kebebasannya sebagai pengarang.
Di samping itu, dia juga menggeluti dunia film hingga berhasil menyutradarai beberapa film dan juga drama. Pada tahun 1960, Sartre juga menyatakan bahwa Prajurit-Prajurit Prancis dapat menolak di kirim ke Aljazair. Hal tersebut dinyatakan dalam Manifesto ‘121 Cendekiawan’ dan bergabung dengan organisasi Bertrand Russel sebuah penyelidikan kejahatan perang Amerika di Vietnam yang diberi nama Tribunal Against War Crimes in Vietnam.
Sartre juga memberikan dukungannya kepada para mahasiswa Prancis yang berdemo secara besar-besaran pada tanggal 20 Mei 1968 yang menuntut perbaikan pemerintahan pada umumnya dan sistem pendidikan khususnya. Tahun 1973, dia bersama teman-temannya yang berhaluan kiri kemudian mendirikan surat kabar bau bernama Liberation/Pembebasan.
Surat kabar ini tidak menerima iklan karena dianggap sebagai suatu kebiasaan kapitalis dan semua pegawainya digaji sama rata. Namun, karena keadaan finansial, harian ini sering kali harus berhenti beroperasi. Pada usia 75 tahun yaitu pada tanggal 15 April 1980, Sartre sakit dan dirawat di rumah sakit hingga meninggal dunia.
Sayangnya, Sartre segan bergaul dengan teman- temannya karena sering memperlakukannya dengan kekerasan. Dengan menyendiri, dia menghabiskan waktunya untuk membaca dan membaca. Sartre menjadi mahasiswa di l’Ecole Normale Superieure dan memperoleh ijazah di bidang filsafat pada tahun 1929 kemudian mengajar di Havre, Laon, dan terakhir di Paris pada tahun 1945. Sebelumnya, Sartre pernah berkesempatan memperdalam ilmu fenomenologi Husserl di Intitut Prancis, Berlin. Oleh karena itu, ia banyak menulis artikel dan buku fonemenologi dalam arti realistis atau sarana mengungkapkan realitas dan pengalaman yang konkret, baik di bidang psikologi terkait dengan masalah fantasi dan emosi.
Ketika Perang Dunia II pecah, ia masuk di kententaraan dan bertugas di dinas meterologi. Pada tahun 1940-1941, Sartre ditahan oleh tentara Jerman sebagai tahanan perang pada waktu itu dan dia sempat menulis dan menyutradarai sebuah drama yang menyindir pendudukan Jerman atas Prancis. Ketika Perang Dunia II yang melibatkan dua kekuatan besar dunia (blok barat dan blok timur) sedang berlangsung, Sartre menerbitkan karya filsafat yang berjudul L’etre et le Neant. Essai d’ontologis Phenomenologique atau Essai Ada dan Tiada/suatu ontologi fenomenologis.
Dengan buku inilah, Sartre menjadi seorang filsuf ternama dan segara dianggap sebagai salah seorang pemimpin gerakan filosofis di bidang “Eksistensialisme”.
Eksistensialisme diartikan secara etimologi berasal dari kata eksistensi yang dalam bahasa Latin adalah existere (ex: keluar, dan sistere: tampil, muncul) yang berarti ada, muncul, atau memiliki keberadaan aktual). Sedangkan secara terminologi ialah aliran filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal kepada eksistensi, atau tentang adanya sesuatu, akan tetapi eksistensi di sini tidaklah cukup jika hanya diartikan dengan ada, mengada, atau berada, karena ungkapan eksistensi ini mempunyai arti yang lebih khusus, yaitu cara manusia berada di dalam dunia, di mana cara berada manusia berbeda dengan cara berada benda-benda.
Benda-benda tidak sadar akan keberadaannya, dan benda-benda yang berdampingan pun berada tanpa ada hubungan, dalam arti tidak saling berinteraksi. Manusia tidaklah demikian, manusia menyadari keberadaannya dan karena manusialah benda- benda menjadi bermakna. Dari kedua cara berada yang berbeda tersebut, filsafat eksistensialisme menegaskan bahwa untuk benda-benda disebut “berada”, sedangkan manusia disebut “bereksistensi”.
Sartre dengan paham filsafatnya “Eksistensialisme” menekankan bahwa dia adalah filosof yang atheis dan itu dinyatakannya secara terang-terangan yang menganggap bahwa Tuhan tidak ada. Oleh karena itu, konsepnya tentang manusia ialah bukan ciptaan Tuhan. Eksistensi manusia menunjukkan kesadaran manusia, terutama pada dirinya sendiri bahwa dia berhadapan dengan dunia. Dari konsep ini muncullah ciri lain hakikat keberadaan manusia.
Orang eksistensialis berpendapat bahwa salah satu watak keberadaan manusia ialah takut.26 Takut itu datang dari kesadaran manusia tentang wujudnya di dunia. Sartre menyatakan, bila manusia menyadari dirinya berhadapan dengan sesuatu, menyadari dia telah memilih untuk berada, pada waktu itu juga dia telah bertanggung jawab untuk memutuskan bagi dirinya sendiri dan bagi keseluruhan manusia dan pada saat itu pula manusia merasa tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab menyeluruh. Pemikiran filsafat eksistensialisme Sartre adalah La Liberte atau kemerdekaan manusia.
Manusia itu bebas, merdeka. Oleh karena itu, dia harus bebas menentukan dan memutuskan. Dalam menentukan dan memutuskan, dia bertindak sendirian tanpa orang lain yang menolong atau bersamanya. Manusia memiliki kebebasan sepenuhnya, sebab tanpa kebebasan tidak mungkin manusia membuat rancangan bagi eksistensinya serta berusaha memberi wujud pada apa yang dirancangnya bagi dirinya.
Atau dapat disimpulkan bahwa pandangan eksistensi Sartre adalah yaitu manusia dapat berkembang sebebas-bebasnya tanpa perlu takut, terikat atau bertanggung jawab terhadap apapun itu.
Selama masa hidupnya, setelah berhenti menjadi dosen, ia mendirikan majalah-majalah baru menulis tentang kejadian politik dan kultural yang di dalamnya tidak terlepas dari filsafat eksistensialiame. Sartre juga menulis beberapa novel hingga dipilih menjadi pemenang Hadiah Nobel Kesustraan tetapi ditolaknya dengan alasan akan mengurangi kebebasannya sebagai pengarang.
Di samping itu, dia juga menggeluti dunia film hingga berhasil menyutradarai beberapa film dan juga drama. Pada tahun 1960, Sartre juga menyatakan bahwa Prajurit-Prajurit Prancis dapat menolak di kirim ke Aljazair. Hal tersebut dinyatakan dalam Manifesto ‘121 Cendekiawan’ dan bergabung dengan organisasi Bertrand Russel sebuah penyelidikan kejahatan perang Amerika di Vietnam yang diberi nama Tribunal Against War Crimes in Vietnam.
Sartre juga memberikan dukungannya kepada para mahasiswa Prancis yang berdemo secara besar-besaran pada tanggal 20 Mei 1968 yang menuntut perbaikan pemerintahan pada umumnya dan sistem pendidikan khususnya. Tahun 1973, dia bersama teman-temannya yang berhaluan kiri kemudian mendirikan surat kabar bau bernama Liberation/Pembebasan.
Surat kabar ini tidak menerima iklan karena dianggap sebagai suatu kebiasaan kapitalis dan semua pegawainya digaji sama rata. Namun, karena keadaan finansial, harian ini sering kali harus berhenti beroperasi. Pada usia 75 tahun yaitu pada tanggal 15 April 1980, Sartre sakit dan dirawat di rumah sakit hingga meninggal dunia.
Penulis: Lian Oktafiany
Daftar
Pustaka:
Ekawati, Dian. 2015.
Eksistensialisme. Jurnal Tarbawiyah (Volume
Nomor 1). Diakses pada 17 Mei 2019.
Mahmudin, Siregar. Filsafat
Eksitensialisme Jean Paul Sartre. Jurnal Yurisprudentia (Volume 1 Nomor 2) Diakses
pada 17 Mei 2019.
Tambunan, Sihol Farida. 2016.
Kebebasan Individu Manusia Abad Dua Puluh: Filsaafat Eksistensialisme Sartre. Jurnal Masyrakat dan Budaya (Volume 18
Nomor 2). Diakses
pada 17 Mei 2019.
Sunarso. 2016. Mengenal Filsafat
Eksitensialisme Jean Paul Sartre Serta Implikasinya dalam Pendidikan.
Eksistensialisme Socia.